halo! Hari ini saya posting makalah Fiqh Muamalah sewaktu kuliah. Semoga bermanfaat! :)
BENTUK-BENTUK PEMBERIAN KEPERCAYAAN DALAM MUAMALAH
MAKALAH
Disusun Guna Memenuhi
Tugas Mata Kuliah Fiqh II (Muamalah)
Semester Gasal Tahun
2013
Dosen Pembimbing : Drs.
H. Umar, Lc. M.Ag
logo STAIN Kudus
Disusun
Oleh:
1.
Shoma Noor Fadlillah : 111064
2.
Hartono :
111067
3.
Mohammad Zainal Abidin : 111068
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI KUDUS
JURUSAN TARBIYAH / PAI
2013
A.
Pendahuluan
Dalam kehidupan sehari – hari
bermasyarakat pasti kita akan menemui kata muamalah.Dan kita pasti juga pernah
melakukan muamalah tersebut. Pengertian muamalah secara
istilah dapat dibagi menjadi dua macam,yaitu pengertian mu’amalah dalam arti
luas dan pengertian mu’amalah dalam arti sempit.
Dalam arti luas mu’amalah
adalah aturan-aturan (hukum) Allah yang mengatur manusia dalam kaitanya dengan
urusan duniawi. Sedangkan mu’amalah dalam arti sempit adalah aturan-aturan
Allah yang wajib ditaati yang mengatur hubungan manusia dengan manusia dalam
kaitanya dengan cara memperoleh dan mengembangkan harta benda.
Dan yang akan di bahas dalam
makalah ini adalah Bentuk-Bentuk Pemberian Kepercayaan Dalam Muamalah yaitu
Al-Ijarah, Al-Ariyah, Hutang-piutang.
B.
Rumusan Masalah
1.
Bagaimana bentuk-bentuk pemberian kepercayaan dalam al-ariyah?
2.
Bagaimana bentuk-bentuk pemberian kepercayaan dalam al-ijarah?
3.
Bagaimana bentuk-bentuk pemberian kepercayaan dalam hutang piutang?
C.
Pembahasan
1. PINJAM-MEMINJAM (AR-RIYYAH)[1]
a. Pengertian ‘ariyah
Menurut etimologi, ariyah diambil dari kata ‘aara yang
berarti datang dan pergi. Menurut sebagian pendapat, ‘aariyah berasal dari kata
at ta’awur yang sama artinya dengan at tanaawul aw at tanaawub (saling tukar
dan mengganti), yakni dalam tradisi pinjam meminjam. Menurut terminologi
syara’, ulama fiqih berbeda pendapat dalam mendefinisikannya, antara lain:
Menurut Syarkhasyi dan ulama Malikiyah, ‘ariyah adalah
pemilikan atas manfaat (suatu benda) tanpa pengganti”.
Menurut ulama Syafi’iyah dan Hambaliyah, ‘ariyah adalah
pembolehan (untuk mengambil) manfaat tanpa mengganti.”
Akad ini berbeda dengan hibah, karena ‘ariyah dimaksudkan
untuk mengambil manfaat dari suatu benda, sedangkan hibah mengmbil zat benda
tersebut.
Hukum Al riyyah adalah boleh yang mana sesuatu yang
diberikan kepada orang lain dalam jangka waktu tertentu lalu dikembalikan
kepada pemilik.
“…Dan tolong-menolonglah kamu dalam kebajikan
dan takwa…” (Al Maaidah 2)
Landasan Syara’
Ariyah dianjurkan (mandub) dalam Islam yang didasarkan pada
Al Qur’an dan As Sunnah.
a. Al Qur’an
“Dan
tolong menolonglah kalian dalam kebaikan dan taqwa.” (QS. Al Maidah: 2)
Allah swt telah mengecam:
“Orang-orang yang lalai dari shalatnya, orang-orang yang
berbuat riya’, dan enggan (menolong dengan) barang berguna.” (QS Al-Maa’uun: 5-7).
b. As Sunnah
Dalam hadits Bukhari Muslim dari Anas, dinytakan bahwa
Rasulullah SAW telah meminjam kuda dari Abu Thalhah, kemudian beliau
mengendarainya.
“Dan Allah selalu menolong hamba-Nya, selama ia menolong
saudaranya.”
(Shahih: Shahihul Jami’us Shaghir no: 6577)
b. Rukun dan Syarat Ariyah
Ø Rukun Ariyah
Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa rukun ariyah hanyalah ijab
dari yang meminjamkan barang, sedangkan qabul bukan merupakan rukun ariyah.
Menurut ulama Syafi’iyyah, dalam ‘ariyah disyaratkan danya lafadzh
shighat akad, yakni ucapan ijab daan qabul dari peminjam dan yang ameinjamkan
barang pada wakgu transaksi sebab memanfaatkan milik barang bergantung pada
adanya izin.
Secara umum, jumhur ulama fiqih menyatakan bahwa rukun
ariyah ada empat, yaitu:
ü Mu’ir (peminjam)
ü Musta’ir (orang yang meminjamkan)
ü Mu;ar (barang yang dipinjam)
Shighat, yakni sesuatu yang menunjukkan kebolehan untuk
mengambil manfaat, baik dengan ucapan maupun perbuatan.
Ø Syarat Ariyah
Ulama
fiqih mensyaratkan dalam akad ariyah bebarapa persyaratan sebagai berikut:
a. Mu’ir berakal sehat
Dengan
demikian, orang gila dan anak kecil yang tidak berakal tidak dapat meminjamkan
barang.
b.
Pemegangan barang oleh peminjam
c. Barang (musta’ar) dapat dimanfaatkan tanpa merusak
zatnya, jika musta’ar tidak dapat dimanfaatkan, akad tidak sah.
c. Hukum (Ketetapan) Akad Ariyah
Dasar
Hukum Ariyah
Menurut urf, ariyah diartikan dengan dua cara, yaitu secara
hakikat dan secara majaz.
a. Secara Hakikat
Ariyah adalah meminjamkan barang yang dapat diambil
manfaatnya tanpa merusak zatnya. Menurut Malikiyah dan Hanafiyah, hukumnya
adalah manfaat bagi peminjam tanpa ada pengganti apapun, atau peminjam memiliki
sesuatu yang semakna dengan manfaat menurut kebiasaan.
Al Kurkhi, ulama Syafi’iyyah, dan Hanabilah berpendapat
bahwa yang dimaksud dengan ariyah adalah kebolehan untuk mengambil manfaat dari
suatu benda.
b.
Secara Majaz
Ariyah secara majazi adalah pinjam meminjam benda-benda yang
berkaitan dengan takaran, timbangan, hitungan, dan lain-lain, seperti telur,
uang, dan segala benda yang dapat diambil manfaatnya, tanpa merusak zatnya.
Dengan demikian, walaupun termasuk ariyah, tetapi merupakan
ariyah secara majazi, sebab tidak mungkin dapat dimanfaatkan tanpa merusaknya.
Oleh karena itu, sama saja antara memiliki kemanfaatan dan kebolehan untuk
memanfaatkannya.
Hak
Memanfaatkan Barang Pinjaman (Musta’ar)
Adapun ulama Hanafiyah berpendapat bahwa kewenangan yang
dimiliki musta’ar bergantung pada jenis pinjaman, apakah mu’ir meminjamkannya
secara mutlak atau secara terikat (muqayyad).
a. Ariyah mutlak
Ariyah
mutlak yaitu, pinjam meminjam barang yang dalam akadnya (transaksi) tidak
dijelaskan persyaratan apapun, seperti apakah pemanfaatannya hanya untuk
peminjam saja atau dibolehkan orang lain, atau tidak dijelaskan cara
penggunaannya.
b.
Ariyah muqayyad
Ariyah
muqayyad adalah meminjamkan suatu barang yang dibatasi dari segi waktu dan
kemanfaatannya, baik disyaratkan pada keduanya maupun salah satunya. Hukumnya,
peminjam harus sedapat mungkin untuk menjaga batasan tersebut, akan tetapi
dibolehkan untuk melanggar batasan tersebut apabila kesulitan dalam
memanfaatkannya. Batasan penggunaan ariyah oleh diri peminjam Pembatasan waktu
dan tempat Pembatassan ukuran berat dan jenis.
2. SEWA MENYEWA (Ijarah)
a. Pengertian Sewa Menyewa
Pengertian secara bahasa : “Menjual manfaat / kegunaan”.
Sedangkan secara istilah : “Akad untuk mendapatkan manfaat dengan pembayaran”.[2]
Sewa menyewa adalah suatu perjanjian atau kesepakatan di
mana penyewa harus membayarkan atau memberikan imbalan atau manfaat dari benda
atau barang yang dimiliki oleh pemilik barang yang dipinjamkan. Hukum dari sewa
menyewa adalah mubah atau diperbolehkan.
“Salah satu dari keduanya berkata : Wahai ayahku, sewalah
dia, sesungguhnya orang yang terbaik yang kau sewa adalah orang yang kuat lagi
dapat dipercaya.” (Al-Qoshos: 26)“Sesungguhnya Rasululah SAW berbekam
dan memberikan upah kepada pembekamnya.” (H.R.Bukhori, Muslim dan Ahmad).kesepakatan di kalangan para sahabat
sebelum kedatangan beberapa orang seperti Hasan Basri dan Abu Bakar al-Ashom,
Ibnu Kisan, Ismail bin Aliyah, Qosyani dan Nahroni
Contoh sewa menyewa dalam kehidupan sehari-hari misalnya
seperti kontrak mengontrak gedung kantor, sewa lahan tanah untuk pertanian,
menyewa / carter kendaraan, sewa menyewa vcd dan dvd original, dan lain-lain.
Dalam sewa menyewa harus ada barang yang disewakan, penyewa,
pemberi sewa, imbalan dan kesepakatan antara pemilik barang dan yang menyewa
barang. Penyewa dalam mengembalikan barang atau aset yang disewa harus
mengembalikan barang secara utuh seperti pertama kali dipinjam tanpa berkurang
maupun bertambah, kecuali ada kesepatan lain yang disepakati saat sebelum
barang berpindah tangan.
b.
Rukun dan Syarat Ijaroh
Ø Rukun
1. Mu’jar ( Orang / barang yang
diupah/disewa).
2. Musta’jir ( Orang yang menyewa/ mengupah)
3. Shighot ( Ijab dan qobul).
4. Upah dan manfaat.[3]
2. Musta’jir ( Orang yang menyewa/ mengupah)
3. Shighot ( Ijab dan qobul).
4. Upah dan manfaat.[3]
Ø
Syarat ijaroh
1. Baik Mu’jar atau musta’jir harus balig dan berakal.
2. Musta’jir
harus benar-benar memiliki barang yang disewakan itu atau mendapatkan wilayah
untuk menyewakan barang itu.
3. Kedua
pihak harus sama-sama ridho menjalankan akad.
4. Manfaat
yang disewakan harus jelas keadaannya maupun lama penyewaannya sehingga tidak
menimbulkan persengketaan.
5. Manfaat
atau imbalan sewa harus dapat dipenuhi secara nyata dan secara syar’i. Misalnya
tidak diperbolehkan menyewakan mobil yang dicuri orang atau perempuan haid
untuk menyapu masjid.
6. Manfaat
yang dapat dinikmati dari sewa harus halal atau mubah karena ada kaidah ”
menyewakan sesuatu untuk kemaksiatan adalah haram hukumnya”.
7. Pekerjaan
yang diupahkan itu tidak merupakan suatu kewajiban yang harus dilakukan oleh
orang yang diupah sebelum terjadinya akad seperti menyewa orang untuk sholat.
8. Orang
yang diupah tidak boleh menikmati manfaat karena pekerjaannya. Tidak boleh
pengupahan (ijaroh) terhadap amalan-amalan thoat.
9. Upah
harus berupah harta yang secara syar’i bernilai.
10. Barang yang disewakan tidak cacat yang dapat merugikan pihak
penyewa.[4]
c. Manfaat Sewa Menyewa
o Membantu orang lain yang tidak
sanggup membeli barang
o Yang menyewakan mendapatkan manfaat
dari sang penyewa
Kaidah-Kaidah dalam Ijaroh :
· Semua barang yang dapat dinikmati manfaatnya tanpa
mengurangi substansi barang tersebut, maka barang tersebut dapat disewakan.
· Semua barang yang pemanfaatannya dilakukan sedikit demi
sedikit tetapi tidak mengurangi substansi barang itu seperti susu pada unta dan
air dalam sumur dapat juga disewakan.
· Uang dari emas atau perak dan tidak dapat disewakan karena
barang-barang ini setelah dikonsumsi menjadi hilang atau habis.[5]
3. HUTANG PIUTANG[6]
a. Pengertian hutang
piutang
Hutang Piutang adalah memberikan
sesuatu yang menjadi hak milik pemberi pinjaman kepada peminjam dengan
pengembalian di kemudian hari sesuai perjanjian dengan jumlah yang sama. Jika
peminjam diberi pinjaman Rp. 1.000.000 maka di masa depan si peminjam akan
mengembalikan uang sejumlah satu juta juga. Contoh hutang piutang modern yaitu
kredit candak kulak, perum pegadaian, kpr BTN, Kredit investasi kecil / KIK,
kredit modal kerja permanen / KMKP, dan lain sebagainya.
Hukum hutang piutang bersifat fleksibel
tergantung situasi kondisi dan toleransi. Pada umumnya pinjam-meminjam hukumnya
sunah / sunat bila dalam keadaan normal. Hukumnya haram jika meminjamkan uang
untuk membeli narkoba, berbuat kejahatan, menyewa pelacur, dan lain sebagainya.
Hukumnya wajib jika memberikan kepada orang yang sangat membutuhkan seperti
tetangga yang anaknya sedang sakit keras dan membutuhkan uang untuk menebus
resep obat yang diberikan oleh dokter.
b. Rukun dan syarat:
Ø
Rukun
1. Ada yang berhutang / peminjam /
piutang / debitor
2. Ada yang memberi hutang / kreditor
3. Ada ucapan kesepakatan atau ijab
qabul / qobul
4. Ada barang atau uang yang akan
dihutangkan
Ø
Adab
Adab
Umum
· Agama membolehkan adanya utang-piutang, untuk tujuan
kebaikan. Tidak dibenarkan meminjam atau memberi pinjaman untuk keperluan
maksiat. (HR. Bukhari, Muslim, Ibnu Majah, Hakim)
· Pembayaran tidak boleh melebihi jumlah pinjaman. Selisih
pembayaran dan pinjaman dan pengembalian adalah riba. Jika pinjam uang sejuta,
kembalinya pun sejuta, tidak boleh lebih. Boleh ada kelebihan pembayaran,
berubah hadiah, asal tidak diakadkan sebelumnya. (HR. Bukhari, Muslim, Abdur
Razak).
· Jangan ada syarat lain dalam utang-piutang kecuali (waktu)
pembayarannya. (HR. Ahmad, Nasa’i).
Adab
untuk pemberi utang
· Sebaiknya memberi tempo pembayaran kepada yang meminjam agar
ada kemudahan untuk membayar. (HR. Muslim, Ahmad).
· Jangan menagih sebelum waktu pembayaran yang sudah
ditentukan. (HR. Ahmad)
· Hendaknya menagih dengan sikap yang lembut penuh maaf. (HR.
Bukhari, Muslim, Tirmidzi).
· Boleh menyuruh orang lain untuk menagih utang, tetapi
terlebih dahulu diberi nasihat agar bersikap baik, lembut dan penuh pemaaf kepada
orang yang akan ditagih. (HR. Bukhari, Muslim, Tirmidzi, Hakim).
Adab
bagi pengutang
· Sebaik-baik orang adalah yang mudah dalam membayar utang
(tidak menunda-nunda). (HR. Bukhari, Nasa’i, Ibnu Majah, Tirmidzi).
· Yang berutang hendaknya berniat sungguh-sungguh untuk
membayar. (HR. Bukhari, Muslim)
· Menunda-nunda utang padahal mampu adalah kezaliman. (HR.
Thabrani, Abu Dawud).
· Barangsiapa menunda-nunda pembayaran utang, padahal ia mampu
membayarnya, maka bertambah satu dosa baginya setiap hari. (HR. Baihaqi).
· Bagi yang memiliki utang dan ia belum mampu membayarnya,
dianjurkan banyak-banyak berdoa kepada Allah agar dibebaskan dari utang, serta
banyak-banyak membaca surat Ali Imran ayat 26. (HR. Baihaqi)
· Disunnahkan agar segera mengucapkan tahmid (Alhamdulillah)
setelah dapat membayar utang. (HR Bukhari, Muslim, Nasa’i, Ahmad). [7]
Dua Jenis Piutang:
Para
ulama membagi piutang dalam dua jenis:
1. Piutang yang ada di tangan orang dan
ia (debitor) bisa menarik atau menagihnya kembali saat kapan pun, akan tetapi
ia sedang tidak membutuhkan harta tersebut sehingga ia membiarkan hartanya ada
ditangan sang pengutang (kreditor).
2. Piutang yang sulit atau tidak bisa
ditarik kembali. Piutang jenis ini tidak ada kewajiban zakatnya, karena
terkadang ia ada di tangan orang selama 10 atau 20 tahun bahkan lebih. Jika
kita wajibkan ia menunaikan zakat atas hartanya yang ada di tangan orang ini,
maka zakat akan merugikan dirinya.[8]
Ø
Manfaat Hutang
Piutang:
Siapa
yang memberi pinjaman atas kesusahan orang lain, maka dia ditempatkan di bawah
naungan singgasana Allah pada hari kiamat. (HR. Thabrani, Ibnu Majah, Baihaqi)
Barangsiapa meminjamkan (harta) kepada orang lain, maka
pahala shadaqah akan terus mengalir kepadanya setiap hari dengan jumlah
sebanyak yang dipinjamkan, sampai pinjaman tersebut dikembalikan. (HR. Muslim,
Ahmad, Ibnu Majah).
1. Hutang piutang merupakan perbuatan
saling tolong menolong antara umat manusia yang sangat dianjurkan oleh Allah
SWT selama tolong-menolong dalam kebajikan.
2. Hutang piutang dapat mengurangi
kesulitan orang lain yang sedang dirudung masalah serta dapat memperkuat tali
persaudaraan kedua belah pihak.
DAFTAR
PUSTAKA
[6]http://organisasi.org/hutang_piutang_menurut_ajaran_islam_definisi_pengertian_hukum_rukun_manfaat_dari_hutang_piutang_pendidikan_agama_islam
Ini makalah sendiri waktu kuliah lho. kalau mau kopas backlink atau komen yaaa :) --ShomaNF
0 comments :
Post a Comment