Breaking News
Loading...
Friday 13 November 2015

BENTUK-BENTUK PEMBERIAN KEPERCAYAAN DALAM MUAMALAH

08:51

halo! Hari ini saya posting makalah Fiqh Muamalah sewaktu kuliah. Semoga bermanfaat! :)
 
BENTUK-BENTUK PEMBERIAN KEPERCAYAAN DALAM MUAMALAH

MAKALAH
Disusun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah Fiqh II (Muamalah)
Semester Gasal Tahun 2013
Dosen Pembimbing : Drs. H. Umar, Lc. M.Ag


logo STAIN Kudus

Disusun Oleh:

1.      Shoma Noor Fadlillah         : 111064
2.      Hartono                               : 111067
3.      Mohammad Zainal Abidin : 111068



SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI KUDUS
JURUSAN TARBIYAH / PAI
2013

A.    Pendahuluan
Dalam kehidupan sehari – hari bermasyarakat pasti kita akan menemui kata muamalah.Dan kita pasti juga pernah melakukan muamalah tersebut. Pengertian muamalah secara istilah dapat dibagi menjadi dua macam,yaitu pengertian mu’amalah dalam arti luas dan pengertian mu’amalah dalam arti sempit.
Dalam arti luas mu’amalah adalah aturan-aturan (hukum) Allah yang mengatur manusia dalam kaitanya dengan urusan duniawi. Sedangkan mu’amalah dalam arti sempit adalah aturan-aturan Allah yang wajib ditaati yang mengatur hubungan manusia dengan manusia dalam kaitanya dengan cara memperoleh dan mengembangkan harta benda.
Dan yang akan di bahas dalam makalah ini adalah Bentuk-Bentuk Pemberian Kepercayaan Dalam Muamalah yaitu Al-Ijarah, Al-Ariyah, Hutang-piutang.
B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana bentuk-bentuk pemberian kepercayaan dalam al-ariyah?
2.      Bagaimana bentuk-bentuk pemberian kepercayaan dalam al-ijarah?
3.      Bagaimana bentuk-bentuk pemberian kepercayaan dalam hutang piutang?

C.    Pembahasan
1. PINJAM-MEMINJAM (AR-RIYYAH)[1]
a. Pengertian ‘ariyah
Menurut etimologi, ariyah diambil dari kata ‘aara yang berarti datang dan pergi. Menurut sebagian pendapat, ‘aariyah berasal dari kata at ta’awur yang sama artinya dengan at tanaawul aw at tanaawub (saling tukar dan mengganti), yakni dalam tradisi pinjam meminjam. Menurut terminologi syara’, ulama fiqih berbeda pendapat dalam mendefinisikannya, antara lain:
Menurut Syarkhasyi dan ulama Malikiyah, ‘ariyah adalah pemilikan atas manfaat (suatu benda) tanpa pengganti”.
Menurut ulama Syafi’iyah dan Hambaliyah, ‘ariyah adalah pembolehan (untuk mengambil) manfaat tanpa mengganti.”
Akad ini berbeda dengan hibah, karena ‘ariyah dimaksudkan untuk mengambil manfaat dari suatu benda, sedangkan hibah mengmbil zat benda tersebut.
Hukum Al riyyah adalah boleh yang mana sesuatu yang diberikan kepada orang lain dalam jangka waktu tertentu lalu dikembalikan kepada pemilik.
Dan tolong-menolonglah kamu dalam  kebajikan dan takwa…” (Al Maaidah 2)
Landasan Syara’
Ariyah dianjurkan (mandub) dalam Islam yang didasarkan pada Al Qur’an dan As Sunnah.
a. Al Qur’an
“Dan tolong menolonglah kalian dalam kebaikan dan taqwa.” (QS. Al Maidah: 2)
Allah swt telah mengecam:
“Orang-orang yang lalai dari shalatnya, orang-orang yang berbuat riya’, dan enggan (menolong dengan) barang berguna.” (QS Al-Maa’uun: 5-7).
b. As Sunnah
Dalam hadits Bukhari Muslim dari Anas, dinytakan bahwa Rasulullah SAW telah meminjam kuda dari Abu Thalhah, kemudian beliau mengendarainya.
“Dan Allah selalu menolong hamba-Nya, selama ia menolong saudaranya.” (Shahih: Shahihul Jami’us Shaghir no: 6577)
b. Rukun dan Syarat Ariyah
Ø Rukun Ariyah
Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa rukun ariyah hanyalah ijab dari yang meminjamkan barang, sedangkan qabul bukan merupakan rukun ariyah.
Menurut ulama Syafi’iyyah, dalam ‘ariyah disyaratkan danya lafadzh shighat akad, yakni ucapan ijab daan qabul dari peminjam dan yang ameinjamkan barang pada wakgu transaksi sebab memanfaatkan milik barang bergantung pada adanya izin.
Secara umum, jumhur ulama fiqih menyatakan bahwa rukun ariyah ada empat, yaitu:
ü Mu’ir (peminjam)
ü Musta’ir (orang yang meminjamkan)
ü Mu;ar (barang yang dipinjam)
Shighat, yakni sesuatu yang menunjukkan kebolehan untuk mengambil manfaat, baik dengan ucapan maupun perbuatan.
Ø Syarat Ariyah
Ulama fiqih mensyaratkan dalam akad ariyah bebarapa persyaratan sebagai berikut:
a. Mu’ir berakal sehat
Dengan demikian, orang gila dan anak kecil yang tidak berakal tidak dapat meminjamkan barang.
b. Pemegangan barang oleh peminjam
c. Barang (musta’ar) dapat dimanfaatkan tanpa merusak zatnya, jika musta’ar tidak dapat dimanfaatkan, akad tidak sah.
c. Hukum (Ketetapan) Akad Ariyah
Dasar Hukum Ariyah
Menurut urf, ariyah diartikan dengan dua cara, yaitu secara hakikat dan secara majaz.
a. Secara Hakikat
Ariyah adalah meminjamkan barang yang dapat diambil manfaatnya tanpa merusak zatnya. Menurut Malikiyah dan Hanafiyah, hukumnya adalah manfaat bagi peminjam tanpa ada pengganti apapun, atau peminjam memiliki sesuatu yang semakna dengan manfaat menurut kebiasaan.
Al Kurkhi, ulama Syafi’iyyah, dan Hanabilah berpendapat bahwa yang dimaksud dengan ariyah adalah kebolehan untuk mengambil manfaat dari suatu benda.
b. Secara Majaz
Ariyah secara majazi adalah pinjam meminjam benda-benda yang berkaitan dengan takaran, timbangan, hitungan, dan lain-lain, seperti telur, uang, dan segala benda yang dapat diambil manfaatnya, tanpa merusak zatnya.
Dengan demikian, walaupun termasuk ariyah, tetapi merupakan ariyah secara majazi, sebab tidak mungkin dapat dimanfaatkan tanpa merusaknya. Oleh karena itu, sama saja antara memiliki kemanfaatan dan kebolehan untuk memanfaatkannya.
Hak Memanfaatkan Barang Pinjaman (Musta’ar)
Adapun ulama Hanafiyah berpendapat bahwa kewenangan yang dimiliki musta’ar bergantung pada jenis pinjaman, apakah mu’ir meminjamkannya secara mutlak atau secara terikat (muqayyad).
a. Ariyah mutlak
Ariyah mutlak yaitu, pinjam meminjam barang yang dalam akadnya (transaksi) tidak dijelaskan persyaratan apapun, seperti apakah pemanfaatannya hanya untuk peminjam saja atau dibolehkan orang lain, atau tidak dijelaskan cara penggunaannya.
b. Ariyah muqayyad
Ariyah muqayyad adalah meminjamkan suatu barang yang dibatasi dari segi waktu dan kemanfaatannya, baik disyaratkan pada keduanya maupun salah satunya. Hukumnya, peminjam harus sedapat mungkin untuk menjaga batasan tersebut, akan tetapi dibolehkan untuk melanggar batasan tersebut apabila kesulitan dalam memanfaatkannya. Batasan penggunaan ariyah oleh diri peminjam Pembatasan waktu dan tempat Pembatassan ukuran berat dan jenis.
2. SEWA MENYEWA (Ijarah)
a. Pengertian Sewa Menyewa
Pengertian secara bahasa : “Menjual manfaat / kegunaan”. Sedangkan secara istilah : “Akad untuk mendapatkan manfaat dengan pembayaran”.[2]
Sewa menyewa adalah suatu perjanjian atau kesepakatan di mana penyewa harus membayarkan atau memberikan imbalan atau manfaat dari benda atau barang yang dimiliki oleh pemilik barang yang dipinjamkan. Hukum dari sewa menyewa adalah mubah atau diperbolehkan.
Salah satu dari keduanya berkata : Wahai ayahku, sewalah dia, sesungguhnya orang yang terbaik yang kau sewa adalah orang yang kuat lagi dapat dipercaya.” (Al-Qoshos: 26)“Sesungguhnya Rasululah SAW berbekam dan memberikan upah kepada pembekamnya.” (H.R.Bukhori, Muslim dan Ahmad).kesepakatan di kalangan para sahabat sebelum kedatangan beberapa orang seperti Hasan Basri dan Abu Bakar al-Ashom, Ibnu Kisan, Ismail bin Aliyah, Qosyani dan Nahroni
Contoh sewa menyewa dalam kehidupan sehari-hari misalnya seperti kontrak mengontrak gedung kantor, sewa lahan tanah untuk pertanian, menyewa / carter kendaraan, sewa menyewa vcd dan dvd original, dan lain-lain.
Dalam sewa menyewa harus ada barang yang disewakan, penyewa, pemberi sewa, imbalan dan kesepakatan antara pemilik barang dan yang menyewa barang. Penyewa dalam mengembalikan barang atau aset yang disewa harus mengembalikan barang secara utuh seperti pertama kali dipinjam tanpa berkurang maupun bertambah, kecuali ada kesepatan lain yang disepakati saat sebelum barang berpindah tangan.
b. Rukun dan Syarat Ijaroh
Ø Rukun
1. Mu’jar ( Orang / barang yang diupah/disewa).
2. Musta’jir ( Orang yang menyewa/ mengupah)
3. Shighot ( Ijab dan qobul).
4. Upah dan manfaat.[3]
Ø Syarat ijaroh
1. Baik Mu’jar atau musta’jir harus balig dan berakal.
2. Musta’jir harus benar-benar memiliki barang yang disewakan itu atau mendapatkan wilayah untuk menyewakan barang itu.
3. Kedua pihak harus sama-sama ridho menjalankan akad.
4. Manfaat yang disewakan harus jelas keadaannya maupun lama penyewaannya sehingga tidak menimbulkan persengketaan.
5. Manfaat atau imbalan sewa harus dapat dipenuhi secara nyata dan secara syar’i. Misalnya tidak diperbolehkan menyewakan mobil yang dicuri orang atau perempuan haid untuk menyapu masjid.
6. Manfaat yang dapat dinikmati dari sewa harus halal atau mubah karena ada kaidah ” menyewakan sesuatu untuk kemaksiatan adalah haram hukumnya”.
7. Pekerjaan yang diupahkan itu tidak merupakan suatu kewajiban yang harus dilakukan oleh orang yang diupah sebelum terjadinya akad seperti menyewa orang untuk sholat.
8. Orang yang diupah tidak boleh menikmati manfaat karena pekerjaannya. Tidak boleh pengupahan (ijaroh) terhadap amalan-amalan thoat.
9. Upah harus berupah harta yang secara syar’i bernilai.
10. Barang yang disewakan tidak cacat yang dapat merugikan pihak penyewa.[4]
c. Manfaat Sewa Menyewa
o Membantu orang lain yang tidak sanggup membeli barang
o Yang menyewakan mendapatkan manfaat dari sang penyewa
Kaidah-Kaidah dalam Ijaroh :
· Semua barang yang dapat dinikmati manfaatnya tanpa mengurangi substansi barang tersebut, maka barang tersebut dapat disewakan.
· Semua barang yang pemanfaatannya dilakukan sedikit demi sedikit tetapi tidak mengurangi substansi barang itu seperti susu pada unta dan air dalam sumur dapat juga disewakan.
· Uang dari emas atau perak dan tidak dapat disewakan karena barang-barang ini setelah dikonsumsi menjadi hilang atau habis.[5]
3. HUTANG PIUTANG[6]
a. Pengertian hutang piutang
Hutang Piutang adalah memberikan sesuatu yang menjadi hak milik pemberi pinjaman kepada peminjam dengan pengembalian di kemudian hari sesuai perjanjian dengan jumlah yang sama. Jika peminjam diberi pinjaman Rp. 1.000.000 maka di masa depan si peminjam akan mengembalikan uang sejumlah satu juta juga. Contoh hutang piutang modern yaitu kredit candak kulak, perum pegadaian, kpr BTN, Kredit investasi kecil / KIK, kredit modal kerja permanen / KMKP, dan lain sebagainya.
Hukum hutang piutang bersifat fleksibel tergantung situasi kondisi dan toleransi. Pada umumnya pinjam-meminjam hukumnya sunah / sunat bila dalam keadaan normal. Hukumnya haram jika meminjamkan uang untuk membeli narkoba, berbuat kejahatan, menyewa pelacur, dan lain sebagainya. Hukumnya wajib jika memberikan kepada orang yang sangat membutuhkan seperti tetangga yang anaknya sedang sakit keras dan membutuhkan uang untuk menebus resep obat yang diberikan oleh dokter.
b. Rukun dan syarat:
Ø Rukun
1. Ada yang berhutang / peminjam / piutang / debitor
2. Ada yang memberi hutang / kreditor
3. Ada ucapan kesepakatan atau ijab qabul / qobul
4. Ada barang atau uang yang akan dihutangkan
Ø Adab
Adab Umum
· Agama membolehkan adanya utang-piutang, untuk tujuan kebaikan. Tidak dibenarkan meminjam atau memberi pinjaman untuk keperluan maksiat. (HR. Bukhari, Muslim, Ibnu Majah, Hakim)
· Pembayaran tidak boleh melebihi jumlah pinjaman. Selisih pembayaran dan pinjaman dan pengembalian adalah riba. Jika pinjam uang sejuta, kembalinya pun sejuta, tidak boleh lebih. Boleh ada kelebihan pembayaran, berubah hadiah, asal tidak diakadkan sebelumnya. (HR. Bukhari, Muslim, Abdur Razak).
· Jangan ada syarat lain dalam utang-piutang kecuali (waktu) pembayarannya. (HR. Ahmad, Nasa’i).
Adab untuk pemberi utang
· Sebaiknya memberi tempo pembayaran kepada yang meminjam agar ada kemudahan untuk membayar. (HR. Muslim, Ahmad).
· Jangan menagih sebelum waktu pembayaran yang sudah ditentukan. (HR. Ahmad)
· Hendaknya menagih dengan sikap yang lembut penuh maaf. (HR. Bukhari, Muslim, Tirmidzi).
· Boleh menyuruh orang lain untuk menagih utang, tetapi terlebih dahulu diberi nasihat agar bersikap baik, lembut dan penuh pemaaf kepada orang yang akan ditagih. (HR. Bukhari, Muslim, Tirmidzi, Hakim).
Adab bagi pengutang
· Sebaik-baik orang adalah yang mudah dalam membayar utang (tidak menunda-nunda). (HR. Bukhari, Nasa’i, Ibnu Majah, Tirmidzi).
· Yang berutang hendaknya berniat sungguh-sungguh untuk membayar. (HR. Bukhari, Muslim)
· Menunda-nunda utang padahal mampu adalah kezaliman. (HR. Thabrani, Abu Dawud).
· Barangsiapa menunda-nunda pembayaran utang, padahal ia mampu membayarnya, maka bertambah satu dosa baginya setiap hari. (HR. Baihaqi).
· Bagi yang memiliki utang dan ia belum mampu membayarnya, dianjurkan banyak-banyak berdoa kepada Allah agar dibebaskan dari utang, serta banyak-banyak membaca surat Ali Imran ayat 26. (HR. Baihaqi)
· Disunnahkan agar segera mengucapkan tahmid (Alhamdulillah) setelah dapat membayar utang. (HR Bukhari, Muslim, Nasa’i, Ahmad). [7]
Dua Jenis Piutang:
Para ulama membagi piutang dalam dua jenis:
1. Piutang yang ada di tangan orang dan ia (debitor) bisa menarik atau menagihnya kembali saat kapan pun, akan tetapi ia sedang tidak membutuhkan harta tersebut sehingga ia membiarkan hartanya ada ditangan sang pengutang (kreditor).
2. Piutang yang sulit atau tidak bisa ditarik kembali. Piutang jenis ini tidak ada kewajiban zakatnya, karena terkadang ia ada di tangan orang selama 10 atau 20 tahun bahkan lebih. Jika kita wajibkan ia menunaikan zakat atas hartanya yang ada di tangan orang ini, maka zakat akan merugikan dirinya.[8]
Ø Manfaat Hutang Piutang:
Siapa yang memberi pinjaman atas kesusahan orang lain, maka dia ditempatkan di bawah naungan singgasana Allah pada hari kiamat. (HR. Thabrani, Ibnu Majah, Baihaqi)
Barangsiapa meminjamkan (harta) kepada orang lain, maka pahala shadaqah akan terus mengalir kepadanya setiap hari dengan jumlah sebanyak yang dipinjamkan, sampai pinjaman tersebut dikembalikan. (HR. Muslim, Ahmad, Ibnu Majah).
1. Hutang piutang merupakan perbuatan saling tolong menolong antara umat manusia yang sangat dianjurkan oleh Allah SWT selama tolong-menolong dalam kebajikan.
2. Hutang piutang dapat mengurangi kesulitan orang lain yang sedang dirudung masalah serta dapat memperkuat tali persaudaraan kedua belah pihak.

DAFTAR PUSTAKA


[4] ibid
[5] Ibid



Ini makalah sendiri waktu kuliah lho. kalau mau kopas backlink atau komen yaaa :) --ShomaNF


0 comments :

 
Toggle Footer