A.
Pendahuluan
Toleransi menuntut kita untuk terbuka
dalam segalanya. Salah satunya dalam hal memahami keyakinan lain selain yang
kita miliki. Seperti yang kita tahu, ada 5 agama resmi di Indonesia. Islam,
Kristen, Buddha, Hindhu, dan Khonghucu. Meskipun ada banyak agama lain yang
tidak termasuk, namun dalam perkembangannya terlihat sah-sah saja. Dari kelima
agama tersebut, pemakalah menyoroti satu agama yang terlihat nyantai dan tidak
begitu banyak dipermasalahkan. Khonghucu adalah agama yang cepat berkembang.
Klenteng sekarang telah berdiri dimana-mana. Parade Imlek yang tumpah-ruah di
jalanan diikuti oleh siapa saja. Super market pun ikutan bahagia dengan
mendekor ruangannya menjadi taman lampion yang menakjubkan.
Dibalik semua kelaziman tersebut,
pemakalah mengambil satu poin unik yang sebenarnya dapat dilihat dari sisi mana
saja. Naga, hewan sakral yang menjadi simbol Khonghucu terlihat sangat ajaib,
bahkan ketika sampai saat ini, jenis hewan ini tidak pernah terdaftar dalam
list fauna. Pasalnya, hewan ini adalah hewan dewa, hewan supranatural yang
menjadi keyakinan dalam Agama Khonghucu.
Melihat fakta ini, pemakalah menjadi tertarik untuk membahasnya dalam makalah
ini.
B.
Rumusan Masalah
1. Apa itu Agama Khonghucu?
2. Bagaimana daya magis naga dalam Agama
Khonghucu?
3. Bagaimana makna simbolik naga dalam Tari
Naga (Liang-Liong)?
C.
Pembahasan
1. Agama Khonghucu
Khonghucu adalah nama seorang filsuf yang
mengajarkan agama Konfusianis. Untuk mengaburkan maknanya maka dipilih kata “Khonghucu”.
Konfusianisme muncul dalam bentuk agama di beberapa negara seperti Korea,
Jepang, Taiwan, Hong Kong dan RRC. Dalam bahasa Tionghoa, Agama Khonghucu
seringkali disebut sebagai Kongjiao (孔教) atau Rujiao (儒教).
Di zaman Orde Baru,
pemerintahan Soeharto melarang segala bentuk aktivitas berbau kebudayaaan dan
tradisi Tionghoa di Indonesia. Ini menyebabkan banyak pemeluk kepercayaan
tradisional Tionghoa menjadi tidak berstatus sebagai pemeluk salah satu dari 5
agama yang diakui. Untuk menghindari permasalahan politis (dituduh sebagai
atheis dan komunis), pemeluk kepercayaan tadi kemudian diharuskan untuk memeluk
salah satu agama yang diakui, mayoritas menjadi pemeluk agama Kristen atau
Buddha. Klenteng yang merupakan tempat ibadah kepercayaan tradisional Tionghoa
juga terpaksa mengubah nama dan menaungkan diri menjadi vihara yang merupakan
tempat ibadah agama Buddha.
Seusai Orde Baru,
pemeluk kepercayaan tradisional Tionghoa mulai mendapatkan kembali pengakuan
atas identitas mereka sejak UU No 1/Pn.Ps/1965 yang menyatakan bahwa
agama-agama yang banyak pemeluknya di Indonesia antara lain Islam, Kristen,
Katholik, Hindu, Buddha dan Khonghucu.
Ajaran Konfusianisme
atau Kong Hu Cu (juga: Kong Fu Tze atau Konfusius) dalam bahasa Tionghoa,
istilah aslinya adalah Rujiao (儒教) yang berarti agama
dari orang-orang yang lembut hati, terpelajar dan berbudi luhur. Khonghucu
memang bukanlah pencipta agama ini melainkan beliau hanya menyempurnakan agama
yang sudah ada jauh sebelum kelahirannya seperti apa yang beliau sabdakan:
"Aku bukanlah pencipta melainkan Aku suka akan ajaran-ajaran kuno
tersebut". Meskipun orang kadang mengira bahwa Khonghucu adalah merupakan suatu
pengajaran filsafat untuk meningkatkan moral dan menjaga etika manusia.
Sebenarnya kalau orang mau memahami secara benar dan utuh tentang Ru Jiao atau Agama
Khonghucu, maka orang akan tahu bahwa dalam Agama Khonghucu (Ru Jiao) juga
terdapat Ritual yang harus dilakukan oleh para penganutnya. Agama Khonghucu
juga mengajarkan tentang bagaimana hubungan antar sesama manusia atau disebut
"Ren Dao" dan bagaimana kita melakukan hubungan dengan Sang
Khalik/Pencipta alam semesta (Tian Dao) yang disebut dengan istilah
"Tian" atau "Shang Di".
Ajaran falsafah ini diasaskan oleh Kong
Hu Cu yang dilahirkan pada tahun 551 SM Chiang Tsai yang saat itu berusia 17
tahun. Seorang yang bijak sejak masih kecil dan terkenal dengan penyebaran
ilmu-ilmu baru ketika berumur 32 tahun, Kong Hu Cu banyak menulis buku-buku
moral, sejarah, kesusasteraan dan falsafah yang banyak diikuti oleh penganut
ajaran ini. Ia meninggal dunia pada tahun 479 SM.
Konfusianisme mementingkan akhlak yang
mulia dengan menjaga hubungan antara manusia di langit dengan manusia di bumi
dengan baik. Penganutnya diajar supaya tetap mengingat nenek moyang seolah-olah
roh mereka hadir di dunia ini. Ajaran ini merupakan susunan falsafah dan etika
yang mengajar bagaimana manusia bertingkah laku.
Konfusius tidak menghalangi orang
Tionghoa menyembah keramat dan penunggu tapi hanya yang patut disembah, bukan
menyembah barang-barang keramat atau penunggu yang tidak patut disermbah, yang
dipentingkan dalam ajarannya adalah bahwa setiap manusia perlu berusaha
memperbaiki moral.
Ajaran ini dikembangkan oleh muridnya
Mengzi ke seluruh Tiongkok dengan beberapa perubahan. Kong Hu Cu disembah
sebagai seorang dewa dan falsafahnya menjadi agama baru, meskipun dia
sebenarnya adalah manusia biasa. Pengagungan yang luar biasa akan Kong Hu Cu
telah mengubah falsafahnya menjadi sebuah agama dengan diadakannya
perayaan-perayaan tertentu untuk mengenang Kong Hu Cu.
a.
Falsafah Dasar
1)
Tian
Tian adalah Maha
Pencipta alam semesta. Manusia tidak dapat memahami hakikat sejati Tian
sehingga Ia dilambangkan dengan ciri-ciri berikut:
Yuan : yang selalu
hadir.
Heng : yang selalu
berhasil.
Li : yang selalu membawa berkah.
Zhen : yang selalu
adil, tidak membeda-bedakan.
2)
Xing
Xing adalah jati
diri manusia, kodrat, yaitu perwujudan firman Tian (Tian Ming) dalam diri
manusia. Xing menghubungkan Tian dengan segala ciptaannya. Manusia sulit
mengenali xingnya karena tertutup oleh emosi, napsu; maka manusia harus
dibimbing dengan pedoman etika. Meskipun xing setiap manusia berbeda-beda,
tetapi memiliki satu persamaan yaitu Ren (perikemanusiaan).
3)
Ren
Ren atau perikemanusiaan dapat
dibagi menjadi dua bagian, yaitu Zhong (setia) dan Shu (solidaritas).
Zhong merupakan kependekan dari
istilah zhong yi Tian (lit. setia kepada Tuhan), yaitu berserah diri ,lahir dan
batin kepada Tuhan.
Shu merupakan kependekan dari
istilah shu yi ren (solider kepada sesama manusia atau "cinta kasih
sejati". Terdapat dua istilah yang menerangkan arti Shu
lebih lanjut. Ji shuo bu yi wu shi yi ren, yaitu "apa yang
diri sendiri tiada inginkan, jangan dilakukan terhadap orang lain".
(Lunyu) dan Ji yi li er li ren,
ji yi da er da ren, yaitu "kalau ingin tegak, buatlah orang lain juga
tegak; jika ingin maju, buatlah orang lain juga maju".
b.
Delapan Pengakuan Iman (Ba
Cheng Chen Gui)
1)
Sepenuh Iman kepada Tuhan Yang
Maha Esa (Cheng Xin Huang Tian)
2)
Sepenuh Iman menjunjung
Kebajikan (Cheng Juen Jie De)
3)
Sepenuh Iman Menegakkan Firman
Gemilang (Cheng Li Ming Ming)
4)
Sepenuh Iman Percaya adanya
Nyawa dan Roh (Cheng Zhi Gui Shen)
5)
Sepenuh Iman memupuk Cita
Berbakti (Cheng Yang Xiao Shi)
6)
Sepenuh Iman mengikuti Genta
Rohani Nabi Kongzi (Cheng Shun Mu Duo)
7)
Sepenuh Iman memuliakan Kitab
Si Shu dan Wu Jing (Cheng Qin Jing Shu)
8)
Sepenuh Iman menempuh Jalan
Suci (Cheng Xing Da Dao)
c.
Lima Sifat Kekekalan (Wu Chang):
1)
Ren - Cinta Kasih
yaitu sifat mulia pribadi
seseorang terhadap moralitas, cinta kasih, kebajikan, kebenaran, tahu-diri,
halus budi pekerti, tanggang rasa, perikemanusiaan. Ini merupakan sifat manusia
yang paling mulia dan luhur.
2)
Yi - Kebenaran/ Keadilan/
Kewajiban
yaitu sifat mulia
pribadi seseorang dalam solidaritas serta senantiasa membela kebenaran. Bila
Ren sudah ditegakkan, maka Yi harus menyertai.
3)
Li - Kesusilaan/ Kepantasan
yaitu sifat mulia
pribadi seseorang yang bersusila, sopan santun, tata krama, dan budi pekerti.
Semula Li hanya dikaitkan dengan perilaku yang benara dalam upacara keagamaan,
tetapi selanjutnya diperluas hingga ke adat-istiadat dan tradisi dalam
masyarakat.
4)
Zhi - Bijaksana
yaitu sifat mulia
pribadi seseorang yang arif bijaksana dan penuh pengertian. Kong Hu Cu merangkaikan
munculnya kebijaksanaan seseorang dengan selalu sabar dalam mengambil tindakan,
penuh persiapan, melihat jauh ke depan, serta memperhitungkan segala
kemungkinan yang akan terjadi.
5)
Xin - Dapat dipercaya
yaitu sifat pribadi
seseorang yang selalu percaya diri, dapat dipercaya orang lain, dan senantiasa
menetapti janji.
d.
Lima Etika (Wu Lun)
Lima hubungan norma
etika dalam bermasyarakat merupakan bentuk dasar interaksi manusia. Dengan
menjalani kehidupan yang sesuai dengan asas Wu Lun, seseorang akan menikmati
keselarasan dalam kepribadiannya maupun dalam hubungannya dengan masyarakat.
• Hubungan antara Pimpinan dan Bawahan
• Hubungan antara Suami dan Isteri
• Hubungan antara Orang tua dan anak
• Hubungan antara Kakak dan Adik
• Hubungan antara Kawan dan Sahabat
e.
Delapan Kebajikan (Ba De)
1)
Xiao - Laku Bakti; yaitu
berbakti kepada orangtua, leluhur, dan guru.
2)
Ti - Rendah Hati; yaitu sikap
kasih sayang antar saudara, yang lebih muda menghormati yang tua dan yang tua
membimbing yang muda.
3)
Zhong - Setia; yaitu kesetiaan
terhadap atasan, teman, kerabat, dan negara.
4)
Xin - Dapat Dipercaya
5)
Li - Susila; yaitu sopan santun
dan bersusila.
6)
Yi - Bijaksana; yaitu berpegang
teguh pada kebenaran.
7)
Lian - Suci Hati; yaitu sifat
hidup yang sederhana, selalu menjaga kesucian, dan tidak menyeleweng/
menyimpang.
8)
Chi - Tahu Malu; yaitu sikap
mawas diri dan malu jika melanggar etika dan budi pekerti.
f.
Kitab suci
i.
Wu Jing (五 經) (Kitab Suci yang
Lima) yang terdiri atas:
1. Kitab Sanjak Suci 詩經 Shi Jing
2. Kitab Dokumen Sejarah 書經 Shu Jing
3. Kitab Wahyu Perubahan 易經 Yi Jing
4. Kitab Suci Kesusilaan 禮經 Li Jing
5. Kitab Chun-qiu 春秋經 Chunqiu Jing
ii.
Si Shu (Kitab Yang Empat) yang
terdiri atas:
1. Kitab Ajaran Besar - 大學 Da Xue
2. Kitab Tengah Sempurna - 中庸 Zhong Yong
3. Kitab Sabda Suci - 論語 Lun Yu
2. Daya Magis Naga dalam Agama Khonghucu
Simbol naga adalah simbol kekuatan di
tiang vihara sembayang dewa langit untuk pengusir kekuatan jahat. Naga atau
liong merupakan mahluk sakral dalam Agama Khonghucu. Bersama barongsai (qilin),
naga mempunyai makna dan simbol penting ketika Nabi Khonghucu lahir. Naga
adalah simbol sebagai binatang yang paling kuat. Untuk itulah naga selalu ada
pada setiap tiang klenteng, terutama pada tiang tempat sembahyang Dewa Langit.
Di setiap kelenteng biasanya selalu ada patung naga di depan pintu gerbang. Di
rumah-rumah warga Tionghoa juga banyak tersimpan. Fungsinya mengusir roh jahat.
Sementara gambar naga juga selalu ada
pada tiang utama di kelenteng, digambarkan seperti melilit tiang tersebut.
Karena diyakni liong sebagai mahluk penjaga, pada arsitektur rumah Tiongkok
biasanya dijumpai desain kepala naga yang digunakan untuk model ketokan pintu
rumah berbentuk seperti kepala naga yang menggigit gelang, biasanya berada di
depan gerbang-gerbang dan berjumlah sembilan. Naga juga merupakan simbol
kekuasaan kekaisaran. Tubuh kaisar disebut tubuh naga. Sedangkan mukanya
disebut wajah naga. Ia memakai jubah naga, duduk di atas kursi naga, dan tidur
di atas ranjang naga. Keturunannya disebut keturunan naga.
Menurut budaya Chinese simbol naga adalah
lambang keabadian, pelindung, memberikan rezeki, kekuatan,kesuburan, dan juga
air berserta element lainnya. Karena kepentingannya maka simbol ini lebih banyak
di temukan di orang-orang penting / pemerintah / kaisar pada waktu itu dan juga
ada perbedaan kakinya / jari-jari semakin banyak jari-jari kaki naga maka
semakin tinggi pangkatnya orang itu. [2]
Di dalam mitologi Cina, naga memiliki
kaitan yang sangat erat dengan angka "9". Misalnya, Naga Cina
sesungguhnya memiliki 9 karakteristik yang merupakan kombinasi dari
makhluk-makhluk lainnya.
a. Ia memiliki kepala seperti unta
b. Sisiknya seperti ikan
c. Tanduknya seperti rusa
d. Matanya seperti siluman
e. Telinganya seperti lembu
f. Lehernya seperti ular
g. Perutnya seperti tiram
h. Telapak kakinya seperti harimau
i.
Dan Cakarnya seperti rajawali.
Selain 9 karakteristik itu, naga di dalam
mitologi Cina disebut memiliki 9 orang anak yang juga memiliki karakteristik
yang berbeda-beda. Ia juga memiliki 117 sisik. 81 diantaranya memiliki karakter
Yang (Positif) dan 36 lainnya memiliki karakter Yin (Negatif).
Pada umumnya, naga Cina memiliki tiga
atau empat cakar di masing-masing kaki. Namun kerajaan Cina menggunakan lambang
naga dengan lima cakar untuk menunjukkan kalau sang Kaisar bukan naga biasa.
Lambang ini kemudian menjadi lambang ekslusif yang hanya boleh digunakan oleh
sang kaisar. Siapapun yang berani menggunakan lambang naga dengan 5 cakar akan
segera dihukum mati.
Dalam literatur Cina, paling tidak
ditemukan lebih dari 100 nama naga yang berbeda-beda. Namun, untuk mudahnya,
Naga Cina biasanya hanya digolongkan ke dalam empat jenis, yaitu:
a. Tien Lung atau Naga Langit yang bertugas
menjaga istana para dewa.
b. Shen Lung atau Naga Spiritual yang
berkuasa atas angin dan hujan
c. Ti Lung atau Naga Bumi yang berkuasa atas
air di permukaan bumi
d. Fucang Lung atau Naga dunia bawah bumi
yang bertugas menjaga harta karun yang ada di dalamnya.[3]
Dari sini dapat dipahami bahwa naga disakralkan
dalam rbentuk patung yang sengaja dipasang di tiang-tiang klenteng, rumah, dan
bahkan menjadi ikon hiburan dalam parade imlek. Mereka percaya bahwa naga
mempunyai daya magis untuk melindungi dari roh-roh jahat.
3. Makna Simbolik Naga dalam Tari Naga
(Liang-Liong)
Tari Naga (karakter
sederhana: 舞龙; karakter
tradisional: 舞龍; pinyin: wǔ lóng)
atau disebut juga Liang Liong di Indonesia adalah suatu pertunjukan dan tarian
tradisional dalam kebudayaan masyarakat Tionghoa. Seperti juga Tari Singa atau
Barongsai, tarian ini sering tampil pada waktu perayaan-perayaan tertentu.
Orang Tionghoa sering menggunakan istilah 'Keturunan Naga'(龍的傳人 atau 龙的传人, lóng de chuán rén)
sebagai suatu simbol identitas etnis.
Dalam tarian ini,
satu regu orang Tionghoa memainkan naga-nagaan yang diusung dengan belasan
tongkat. Penari terdepan mengangkat, menganggukkan, menyorongkan dan
mengibas-kibaskan kepala naga-nagaan tersebut yang merupakan bagian dari
gerakan tarian yang diarahkan oleh salah seorang penari. Terkadang bahkan
kepala naga ini bisa mengeluarkan asap dengan menggunakan peralatan
pyrotechnic.
Para penari
menirukan gerakan-gerakan makhluk naga ini, berkelok-kelok dan
berombak-ombak. Gerakan-gerakan ini secara tradisional melambangkan peranan
historis dari naga yang menunjukkan kekuatan yang luar biasa dan martabat yang
tinggi. Tari naga merupakan salah satu puncak acara dari perayaan Imlek di
pecinan-pecinan di seluruh dunia.
Naga dipercaya bisa
membawa keberuntungan untuk masyarakat karena kekuatan, martabat, kesuburan,
kebijaksanaan dan keberuntungan yang dimilikinya. Penampilan naga terlihat
menakutkan dan gagah berani, namun ia tetap memiliki watak yang penuh
kebajikan. Hal-hal inilah yang pada akhirnya menjadikannya lambang lencana
untuk mewakili kekuasaan kekaisaran.
Dalam sejarahnya, Tari Naga ini berasal
dari zaman Dinasti Han (tahun 180-230 SM) dan dimulai oleh orang-orang Tionghoa
yang memiliki kepercayaan dan rasa hormat yang besar terhadap naga. Dipercaya
bahwa pada mulanya tarian ini adalah bagian dari kebudayaan pertanian dan masa
panen, disamping juga sebagai salah satu metode untuk menyembuhkan dan
menghindari penyakit. Tarian ini sudah menjadi acara populer di zaman Dinasti
Sung (960-1279 M) dimana acara ini telah menjadi sebuah kebudayaan rakyat dan,
seperti barongsai, sering tampil di perayaan-perayaan yang meriah.
Sejak semula naga-nagaan dalam Tari Naga
ini dibuat dengan menggabungkan gambaran-gambaran dari berbagai hewan yang
lumrah ditemui. Kemudian naga kaum Tionghoa ini berkembang menjadi sebuah
makhluk dunia dongeng yang dipuja dalam kebudayaan Tionghoa. Bentuk fisiknya
merupakan gabungan dari bagian fisik berbagai hewan, diantaranya tanduk dari
rusa jantan, telinga dari banteng, mata dari kelinci, cakar dari harimau dan
sisik dari ikan, semuanya melengkapi tubuhnya yang mirip dengan tubuh ular
raksasa. Dengan ciri-ciri ini, naga dipercaya sebagai makhluk amfibi dengan
kemampuan untuk bergerak di tanah, terbang di udara dan berenang di laut memberikan mereka peranan sebagai penguasa
langit dan hujan.
Para kaisar di Cina kuno menganggap diri
mereka sendiri sebagai naga. Oleh karenanya naga dijadikan lambang dari
kekuasaan kekaisaran. Ia melambangkan kekuatan magis, kebaikan, kesuburan,
kewaspadaan dan harga diri. Tari Naga saat ini adalah sebuah karya penting
dalam kebudayaan dan tradisi Tionghoa. Tarian ini telah tersebar di seluruh
Cina dan seluruh dunia. Karya ini menjadi sebuah pertunjukan seni khusus
Tionghoa, melambangkan kedatangan keberuntungan dan kemakmuran dalam tahun yang
akan datang bagi semua manusia di bumi.
Berdasarkan catatan sejarah, berlatih
seni ilmu bela diri Cina sangatlah populer dalam periode Chun Chiu. Di
waktu-waktu kosong, Tari Naga ini juga diajarkan kepada para pelajar ilmu bela
diri untuk menambah semangat. Di zaman Dinasti Ching, kelompok Tari Naga dari
propinsi Foochow pernah diundang untuk tampil di istana kaisar di Beijing.
Kaisar Ching memuji dan kagum akan keterampilan mereka, sehingga langsung
memberikan ketenaran yang luar biasa bagi kelompok Tari Naga ini.[4]
D.
Kesimpulan
1.
Agama Khonghucu adalah agama yang dibawa orang Tionghoa e dalam Indonesia
2.
Daya Magis naga berupa perlindungan dari roh-roh jahat.
3.
Makna simbolik Tari Naga (Liang-Liong) adalah untuk menunjukkan kekuatan
dan perlindungan naga kepada umat Khonghucu.
E.
Referensi
http://id.wikipedia.org/wiki/Agama_Khonghucu
http://id.wikipedia.org/wiki/Tari_Naga
http://prabencanadajjal.blogspot.com/2013/09/naga-adalah-simbol-agama-non-muslim.html
http://xfile-enigma.blogspot.com/2010/09/legenda-naga-cina-dan-penampakannya-di.html
0 comments :
Post a Comment