Breaking News
Loading...
Saturday 24 May 2014

Pentingnya Landasan Filsafat Dalam Pendidikan Sains Oleh : Shoma Noor Fadlillah (111064)

03:07
Terdapat banyak alasan untuk belajar filsafat, terutama jika ada pertanyaan-pertanyaan rasional yang tidak terjawab oleh suatu ilmu. Dalam pendidikan, permasalahan-permasalahan yang timbul juga membutuhkan filsafat sebagai pemberi jalan keluar yang masuk akal. Namun tampaknya, kegiatan pendidikan bukan sekedar gejala sosial yang bersifat rasional mengingat kita mengharapkan pendidikan terbaik dan berhasil untuk tanah air. Pendidikan adalah pupuk penumbuh generasi mendatang yang memerlukan sentuhan lebih pada hakikatnya. Padahal secara umum, kemajuan ilmu pendidikan tidak sepesat ilmu-ilmu sosial dan alam, tetapi tidak berarti ilmu pendidikan hanya sekedar ilmu terapan yang berangkat dari teori-teori ilmu sosial. Hal ini menjadi sebuah gap tersendiri, antara perkembangan pendidikan yang tersendat-sendat dengan kebutuhan kualitas output pendidikan itu sendiri.
Keadaan ini menimbulkan pertanyaan baru. Apakah teori-teori pendidikan dapat atau telah tumbuh menjadi sebuah ilmu, ataukah hanya sebagian dari cabang filsafat sosial ataupun filsafat kemanusiaan?
Landasan sosial dan individual Pendidikan
Sebagai gejala sosial, pendidikan mempunyai landasan individual, sosial dan bahkan kultural. Landasan individual yang dimaksud adalah skala mikro, yaitu pendidikan bagi individu atau kelompok dalam skala terbatas. Hal ini bisa dicontohkan seperti antara guru dengan sekelompok siswanya, sesama sahabat, antar anggota keluarga dan antar individu lainnya. Pada skala ini, interaki yang terjadi diharapkan mampu menjadikan potensi manusia berkembang seoptimal mungkin, sehingga menjadi pribadi yang unik, mempunyai daya konstruktif terhadap perubahan budaya yang progresif.
Sementara pada skala makro, pendidikan berlangsung dalam ruang lingkup yang lebih luas. Biasanya meliputi antar sekolah, antar kecamatan, antar daerah hingga antar bangsa. Pendidikan dalam skala ini dilaksanakan untuk regenerasi sosial, yaitu pelimpahan harta budaya dan pelestarian nilai-nilai luhur dalam suatu generasi ke generasi muda dalam masyarakat. Pendidikan yang seperti ini adalah pewarisan suatu ilmu dan budaya yang turun temurun hingga bisa mencakup inti dari landasan sosial dan kultural.
Memadu Ilmu dan Seni
Setiap manusia bernilai tertentu yang bersifat luhur sehingga situasi pendidikan memiliki bobot nilai individual, sosial dan moral. Itu sebabnya pendidikan dalam praktiknya adalah fakta empiris yang sarat akan nilai interaksi, bukan hanya timbal balik komunikasi dua arah namun harus lebih tinggi mencapai tingkat manusiawi. Sifat manusiawi ini menjadi kunci kualitas proses dan hasil pendidikan. Dalam mengembangkan interaksi manusiawi ini pendidik dituntut untuk selalu bertindak kreatif. Kreativitas akan muncul dengan sendirinya manakala pendidik mempunyai kecintaan terhadap mengajar dan mendidik, dalam artian bukan sekedar sebagai profesi.
Sifat manusiawi yang dikembangkan sebagai perwujudan dari kreativitas mengajar berupa inovasi berbagai strategi itulah yang menjembatani antara ilmu dan seni. Hal ini menjadi sebab dari gejala sosial yang tidak bisa direduksi sebagai gejala sosial atau gejala komunikasi timbal balik belaka.
Konsep pendidikan yang memerlukan ilmu dan seni adalah proses atau upaya sadar antar manusia secara beradab, yaitu pihak pertama membimbing perkembangan kemampuan dan kepribadian pihak kedua secara manusiawi. Dalam konteks makro, diartikan sebagai upaya sadar warga masyarakat yang lebih dewasa dan berbudaya membantu pihak-pihak yang kurang dewasa dan kurang berbudaya agar mencapai taraf kemampuan yang lebih baik.
Ki hajar Dewantoro merumuskan keterkaitan ini dalam sebuah pepatah Tut Wuri Handayani yang maksudnya mengikuti perkembangan sang anak dengan penuh perhatian berdasarkan cinta kasih, tanpa pamrih, tanpa keinginan untuk memaksa dengan cara member stimulus, memupuk, member teladan agar sang anak mengembangkan pribadinya masing-masing melalui disiplin pribadi. Melalui rahim konsep tersebut maka lahirlah berbagai macam  metode pembelajaran manusiawi, bukan semacam metode pabrik atau sekolah robot. Metode yang selanjutnya diturunkan menjadi strategi ini memiliki ciri merangsang, memahamkan dan menyenangkan. Memang dalam banyak hal, hasil pengajaran itu bergantung pada kualitas guru mengajar dalam kelas masing-masing.

Dasar Ilmu Pendidikan
Uraian di atas menyiratkan kesimpulan bahwa praktik pendidikan sebagai ilmu yang sekadar rangkaian fakta empiris dan eksperimental, tidak lengkap dan tidak memadai. Adapun pendidikan nilai-nilai akan menuntut siswa menyerap dan meresapi penghayatan 100% melampaui tujuan-tujuan sosialisasi, internalisasi (mikro) dan hendaknya juga enkulturalisasi (makro). Itulah perbedaan esensial antara pendidikan (yang menjalin aspek kognitif dengan aspek afektif) dan kegiatan mengajar yang hanya menjalin aspek kognitif dan psikomotor. Dalam praktik evaluasinya, kegiatan pengajaran sering terbatas targetnya pada aspek kognitif. Itu sebabnya, diperlukan perbedaan ruang lingkup dalam teori antara pengajaran dan mengajar dan mendidik.
Pedagogik Sebagai Ilmu Murni
Tindakan manusia dalam kawasan pendidikan memerlukan analisis yang mandiri atas data pedagogik (pendidikan anak) dan data andragogik (pendidikan dewasa). Data tersebut mencakup fakta (das sain) dan nilai (das sollen) serta campuran dari keduanya. Ilmu pendidikan, khususnya pedagogik (teoretis) adalah ilmu yang menyusun teori dan konsep yang praktis serta positif sebab setiap pendidik tidak boleh ragu-ragu atau menyerah pada keragu-raguan prinsipil. Hal ini serupa dengan ilmu praktis lainnya yang mikro dan makro, seperti kedokteran, ekonomi, politik dan hukum. Oleh karena itu edagogik dan telaah pendidikan makro bukanlah filsafat pendidikan yang terbatas menggunakan atau menerapkan telaah aliran filsafat normative yang bersumber dari filsafat tertentu. Adapun yang lebih diperlukan adalah menerapkan metode filsafat yang radikal dalam menelaah hakikat peserta didik sebagai manusia seutuhnya.
Implikasinya jelasbahwa batang tubuh  (body of knowledge) ilmu pendidikan haruslah sekurang-kurangnya secara mikro mencakup relasi sesama manusia sebagai pendidik dengan terdidik (person to person relationship), pentingnya ilmu pendidikan mempergunakan metode fenomenologi secara kualitatif, orang dewasa yang berperan sebagai pendidik (educator), keberadaan anak manusia sebagai terdidik (learner, student), tujuan pendidikan (educational aims and objectives), tindakan dan proses pendidikan (educative process), dan lingkungan dan lembaga pendidikan (educational instution).
Mengingat pendidikan juga dilakukan dalam arti luas dan makroskopis di berbagai lembaga pendidikan formal dan nonformal, tentu tenaga pendidik di lapangan memerlukan masukan yang berlaku umum, berupa rencana pelajaran atau konsep program kurikulum untuk lembaga yang sejenis. Dengan demikian, selain pedagogik praktis yang menelaah ragam pendidikan di berbagai lingkungan, diperlukan juga batang tubuh yang meliputi konteks sosial budaya (socio cultural contexs and education), filsafat pendidikan (preskriptif) dan sejarah pendidikan (deskriptif), teori, pengembangan, dan pembinaan kurikulum serta cabang ilmu pendidikan lainnya yang bersifat preskriptif, berbagai studi empiris tentang fenomena pendidikan dan berbagai studi pendidikan aplikatif (terapan), khususnya mengenai pengajaran termasuk pengembangan specific content pedagogy.
Dasar Filsafat Ilmu Pendidikan
Dasar-dasar filsafat keilmuwan yang terkait dengan pendidikan antara lain dasar ontologism, epistimologis, aksiologis serta dasar antropologis ilmu pendidikan. Secara ontologis, aspek realitas yang dijangkau teori dan ilmu pendidikan melalui panca indera adalah dunia pengalaman manusia secara empiris. Objek materiil ilmu pendidikan adalah manusia seutuhnya lengkap dengan kepribadiannya, yaitu manusia bernilai-nilai luhur, berakhlak mulia dalam lingkup pendidikan. Dalam arti yang lebih luas, manusia yang dimaksud adalah warga Negara yang bersosial tinggi dan mempunyai ciri warga yang baik. Meskipun dalam situasi sosial manusia sering berperilaku tidak utuh, menjadi makhluk individual, kolektif atau skeptis. Namun pada latar mikro, sistem nilai harus terwujud dalam hubungan antar pribadi yang menjadi syarat mutlak terlaksananya mendidik dan mengajar. Hal itu menjadi rambu bagi pendidik yang sendirinya merupakan makhluk berkepribadian utuh juga harus menjunjung nilai afektif dengan cara memperlakukan peserta didik secara terhormat sebagai manusia  utuh pula.
Sementara dasar epistimologis diperlukan pendidikan untuk mengembangkan ilmunya secara produktif dan bertanggung jawab. Dasar ini akan merujuk kepada pendekatan fenomenologis yang bersifat kualitatif, artinya melibatkan pribadi dan peneliti sebagai instrument pengumpul data. Inti dasar epistimologi iniadalah agar dapat ditentukan bahwa dalam menjelaskan objek formalnya, telaah ilmu pendidikan tidak hanya mengembangkan ilmu terapan tetapi menuju telaah teori dan ilmu pendidikan sebagai otonom yang mempunyai objek formal sendiri. Maka dari itu uji kebenaran sangat diperlukan secara korspondensi, koheren dan secara praktis dan pragmatis.
Manfaat dari teori pendidikan bukan hanya sebagai ilmu yang otonom tetapi juga diperlukan untuk memberikan dasar yang sebaik-baiknya bagi pendidikan sebagai proses pembudayaan manusia secara beradab. Oleh karena itu nilai ilmu pendidikan tidak hanya intrinsik namun juga bersifat ekstrinsik selanjutnya digunakan untuk menelaah dasar-dasar kemungkinan bertindak melalui control terhadap pengaruh negative dan meningkatkan pengaruh positifnya. Dengan demikian ilmu tidak bebas nilai karena terdapat batas yang sangat tipis antara pendidikan sebagai ranah profesi dan tugas pendidik secara pedagogik. Namun disinilah bisa digaris besari bahwa pendidikan adalah bidang yang sarat akan nilai, yang perlu disalurkan melalui teknologi. Meskipun pendidikan tidak termasuk dalam bagian iptek, nilai ini akan lebih melekat dalam perilaku individu bukan menuju ke arah ilmu-ilmu sosial.
Secara antropologis, pendidikan merupakan pertemuan interaksi antara pendidik dan peserta didik yang keduanya sebagai subjek, yang di antaranya terjadi transfer ilmu dua arah dan terjadi komunikasi timbal balik.
Dari uraian di atas kita menyimpulkan bahwa melalui filsafat, kita dapat mengerti bahwa teori-teori pendidikan bisa menjadi sebuah ilmu yang otonom. Maksudnya ilmu yang apabila ditelaah terus-menerus menjadi ilmu yang berkembang pesat seperti ilmu psikologi, kedokteran ekonomi dan lain sebagainya. Pada akhirnya filsafat menjadi alas dalam menemukan suatu permasalah dalam pendidikan sampai ke akar-akar teorinya.

0 comments :

 
Toggle Footer