A. Pendahuluan
Fiqih
mengatakan bahwa perempuan berada di bawah tanggung jawab laki-laki. Seorang
laki-laki yang telah berumah tangga wajib menafkahi isterinya, memenuhi semua
kebutuhannya, menjaga prioritasnya dan melindunginya. Premis ini seakan-akan menyatakan
perempuan tak bisa berdiri sendiri tanpa perlindungan seorang laki-laki.
Padahal dalam kenyataannya, perempuan memiliki kompetensi yang bisa dikatakan hampir
sama seperti laki-laki. Di luar aspek lahiriah perempuan yang secara harfiah
terbentuk dari tulang bengkok yang sering diasumsikan sebagai individu lemah
dan tak berdaya, perempuan mempunyai tekad bertahan hidup sekuat laki-laki. Pun
terlepas dari kurangnya akal dan agama yang sering ditujukan kepada sosok
perempuan, perempuan mampu belajar dan cepat menanggapi apa yang harus ia
lakukan untuk menanggung dirinya.
Alasan
itulah yang dijadikan pijakan para perempuan untuk bekerja di luar. Kebanyakan
masyarakat telah memaklumi hal tersebut. Karena tak bisa dipungkiri, perempuan
juga manusia yang merupakan makhluk sosial. Mereka dengan percaya diri melamar
pekerjaan di luar rumah, menukar potensinya dengan rupiah.Optimisme
meningkatkan ekonomi berujung perbaikan kualitas taraf hidup telah tertanam
pada alasan mengapa mereka bekerja. Terlebih bagi mereka yang single parent.
Namun dalam
pandangan fikih, hal ini menjadi sebuah permasalahan yang sangat seriusapalagi
ketika bersinggungan dengan hukum tentang aurat dan fitnah.Berangkat dari latar
belakang tersebut, pemakalah akan mencoba mengurai permasalahan ini ditinjau
dari penyelesaian masa’il fiqhiyah.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana hak bekerja bagi perempuan?
2. Bagaimana hukum perempuan yang bekerja di
luar?
C. Pembahasan
1. Hak Bekerja Bagi Perempuan
Sebelum membahas lebih jauh mengenai hak
bekerja bagi perempuan, pemakalah akan menguraikan hak perempuan untuk keluar
rumah.
Pada konsultasi online[1], Ahmad Sarwat, Lc.
berbicara mengenai hal ini dengan uraian sebagai berikut.“Sebenarnya Islam
tidak pernah mensyariatkan untuk mengurung wanita di dalam rumah. Tidak seperti
yang banyak dipahami orang.Lihatlah bagaimana Rasulullah SAW melarang orang
yang melarang wanita mau datang ke masjid.”
Diriwayatkan dari Ibnu Umar dia berkata,
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Janganlah kamu mencegah
perempuan-perempuan untuk pergi ke Masjid, sedangkan rumah mereka itu lebih
baik bagi mereka.” (HR Abu Dawud dan Ibnu Khuzaimah dan lafadz ini dari Abu
Dawud).
Dari Abdullah Bin Umar dia berkata, Nabi
Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda: “Apabila salah seorang perempuan di
antara kamu minta izin (untuk berjama’ah di masjid) maka janganlah mencegahnya”.
(HR Al-Bukhari dan Muslim, lafadz ini dari Al-Bukhari).
Diriwayatkan dari Abu Hurairah dia berkata,
sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Janganlah
kamu mencegah kaum wanita untuk pergi ke masjid, tetapi hendaklah mereka keluar
tanpa wangi-wangian.” (HR Abu Dawud).
Beliau menambahkan, “Padahal di masjid
sudah bisa dipastikan banyak orang laki-laki. Dan perjalanan dari rumah ke
masjid serta begitu juga kembalinya, pasti akan bertemu dengan lawan jenis yang
bukan mahram.Bahkan masjid Nabawi di masa Rasulullah SAW tidak ada hijabnya.
Tidak seperti masjid kita di zaman sekarang ini yang ada tabir penghalangnya.
Di masa kenabian, posisi jamaah laki-laki dan jamaah wanita hanya dipisahkan tempatnya
saja.Shaf laki-laki di bagian depan dan shaf wanita di bagian belakang. Anak
kecil yang laki di belakang shaf laki dan anak kecil perempuan berada di sfah
terdepan dari shaf perempuan. Dan tidak ada kain, tembok, tanaman atau
penghalang apapun di antara barisan laki dan perempuan.”[2]
Sehingga beliau mengambil kesimpulan, “Jadi
kalau dikatakan bahwa wanita itu haram keluar rumah, harus lebih banyak
dikurung di dalamnya, rasanya tidak sesuai dengan apa yang terjadi di masa
Rasulullah SAW dan salafus-shalih. Boleh dibilang mengurung wanita di dalam
rumah adalah sebuah perkara bid'ah yang sesat.”[3]
Pendapat lain mengatakan[4], seharusnya pemerintah merusak pakaian wanita dengan tinta atau semisalnya jika
melihat mereka berdandan dan keluar dari rumahnya. Beberapa fuqaha memberi
keringanan dan membenarkan tindakan tersebut. Itulah hukum materi terendah.Pemerintah
berhak memenjarakan wanita jika ia sering keluar dari rumahnya, apalagi jika ia
keluar dalam keadaan berhias. Bahkan
menetapkan bahwa perbuatan semacam itu adalah dosa dan maksiat bagi kaum
wanita. Hanya Allah lah tempat memohon, agar para penguasa berkenan dengan hal
tersebut.
Amirul mu’minin ‘Umar bin Khattab Ra melarang wanita berjalan
dijalanan yang biasa dilalui oleh kaum laki-laki dan berbaur dengan mereka di
jalanan. Dan pemerintah harus mentauladani tindakan Umar itu.
Al Khalal dalam kitab Jami’nya berkata kepada Abu Abdullah “aku
menilai laki-laki tidak baik jika bersama wanita yang bukan muhrimnya”.
Mengabarkan, bahwa sesungguhnya jika seorang wanita berhias dan keluar dari
rumah (tanpa izin dari suaminya dan tidak ada muhrim yang menyertainya), maka
ia dianggap telah berzina”.
Beliau juga melarang kaum wanita jika mengenakan wewangian kemudian
menghadiri shalat isya’ berjamaah di masjid, kemudian Nabi Muhammad SAW
bersabda “Jika seorang wanita keluar rumah, maka Syaitan memuliakannya”.
Tidak diragukan lagi, bahwa memberi
jalan bagi wanita untuk berbaur dengan laki-laki merupakan pangkal dari
kerusakan dan keburukan. Hal itu merupakan sebab terbesar dari diberlakukannya
hukuman yang banyak terjadi, sebagaimana juga menjadi sebab bagi hancurnya
perkara yang umum dan yang khusus.
Berbaurnya laki-laki dan perempuan merupakan sebab terjadinya tidak kemesuman
dan perzinaan. Ia merupakan sebab kematian yang merata dan bencana yang
berantai.[5]
Dalam konsultasi syariah online
kedua, Ustadz Musyaffa Ad-Darini,Lc memberikan pendapatnya sebagai berikut:[6]
Islam menjadikan lelaki sebagai kepala
keluarga, di pundaknya lah tanggung jawab utama lahir batin keluarga. Islam
juga sangat proporsional dalam membagi tugas rumah tangga, kepala keluarga
diberikan tugas utama untuk menyelesaikan segala urusan di luar rumah, sedang
sang ibu memiliki tugas utama yang mulia, yakni mengurusi segala urusan dalam
rumah.Norma-norma ini terkandung dalam firman-Nya:
الرِّجَالُقَوَّامُونَعَلَىالنِّسَاءِبِمَافَضَّلَاللَّهُبَعْضَهُمْعَلَىٰبَعْضٍوَبِمَاأَنْفَقُوامِنْأَمْوَالِهِمْ
“Para lelaki (suami) itu pemimpin bagi para
wanita (istri), karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (yang lelaki)
atas sebagian yang lain (wanita), dan karena mereka (yang lelaki) telah
memberikan nafkah dari harta mereka” (QS. An-Nisa: 34).
Begitu pula firman-Nya:
وَقَرْنَفِيبُيُوتِكُنَّ
“Hendaklah kalian (para istri) tetap di
rumah kalian” (QS. Al-Ahzab:33).
Ahli Tafsir ternama Imam Ibnu Katsir
menafsirkan ayat ini dengan perkataannya: “Maksudnya, hendaklah kalian (para
istri) menetapi rumah kalian, dan janganlah keluar kecuali ada kebutuhan.
Termasuk diantara kebutuhan yang syar’i adalah keluar rumah untuk shalat di
masjid dengan memenuhi syarat-syaratnya” (Tafsir Ibnu Katsir, 6/409).
Dalam memandang permasalahan perempuan
bekerja, beliau menambahi dengan pendapat seperti berikut.[7]Memang bekerja adalah
kewajiban seorang suami sebagai kepala rumah tangga, tapi Islam juga tidak
melarang wanita untuk bekerja. Wanita boleh bekerja, jika memenuhi
syarat-syaratnya dan tidak mengandung hal-hal yang dilarang oleh syari’at.
Syaikh Abdul Aziz Bin Baz mengatakan:
“Islam tidak melarang wanita untuk bekerja dan bisnis, karena Allah jalla
wa’ala mensyariatkan dan memerintahkan hambanya untuk bekerja dalam firman-Nya:
وَقُلِاعْمَلُوافَسَيَرَىاللَّهُعَمَلَكُمْوَرَسُولُهُوَالْمُؤْمِنُونَ
“Katakanlah (wahai Muhammad), bekerjalah
kalian! maka Alloh, Rasul-Nya, dan para mukminin akan melihat pekerjaanmu“ (QS. At-Taubah:105)
Perintah ini mencakup pria dan wanita. Allah
juga mensyariatkan bisnis kepada semua hambanya, Karenanya seluruh manusia
diperintah untuk berbisnis, berikhtiar dan bekerja, baik itu pria maupun wanita,
Allah berfirman (yang artinya):
يَاأَيُّهَاالَّذِينَآمَنُوالَاتَأْكُلُواأَمْوَالَكُمْبَيْنَكُمْبِالْبَاطِلِإِلَّاأَنْتَكُونَتِجَارَةًعَنْتَرَاضٍمِنْكُمْ
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah
kalian saling memakan harta sesama kalian dengan jalan yang tidak benar, akan
tetapi hendaklah kalian berdagang atas dasar saling rela diantara kalian” (QS.
An-Nisa:29),
Beliau menyimpulkan dalil tersebut[8] merupakan perintah yang
berlaku umum, baik pria maupun wanita.
Sementara CRLO (Council of Scientific Research
and Legal Opinions atau Al-Lajnah al-Daimah li al-Buhuts al-Ilmiyyah wa
al-Ifta’ [Lembaga Ilmiah dan Fatwa
di Arab Saudi yang secara resmi boleh mengeluarkan fatwa] berpendapat
mengenai perempuan yang bekerja sebagai berikut.
“Tidak ada masalah dengan perempuan yang bekerja bersama suaminya
di ladang, pabrik, dan di rumah selama ia bekerja dengan ditemani mahramnya
dan selama tidak ada laki-laki yang tidak mahromnya dan disekitarnya. Namun, ia
dilarang bekerja dengan laki-laki yang bukan mahramnya,
karena hal tersebut dapat menyebabkan keburukan dan fitnah yang sangat besar.
Bekerja dengan laki-laki asing memungkinkan rekan kerja laki-laki tersebut
berkumpul berdua dengannya dan memandang kecantikan dirinya. Syariah islam yang
sempurna datang untuk menjaga kemaslahatan manusia dan memaksimalkannya,
menghapus keburukan dan meminimalkanya, dan mencegah semua jalan yang mengarah
kepada hal-hal yang dilarang tuhan. Tidak ada kebahagiaan, kehormatan,
kemuliaan, kesuksesan di dunia dan di akhirat kelak kecuali dengan cara
melaksanakan syariah dan dengan mengikuti hukum-hukumnya, menyeru orang lain
untuk menjalankanya dengan penuh kesabaran, dan dengan menyadari atas
pertentangan yang akan muncul akibat komitmen tersebut.”[9]
Penjelasan CRLO, seperti pendapat sebelumnya
jelas membatasi ruang gerak perempuan sebagai partner laki-laki.Perempuan hanya
dibolehkan bekerja dengan mahram.
Dari dua pendapat tersebut, diambil
kesimpulan bahwa:
1) Tidak ada yang melarang perempuan keluar
rumah asalkan dengan syarat.
2) Tidak ada yang melarang perempuan bekerja
asalkan dengan syarat.
Sementara untuk poin kedua, kami memiliki
beberapa permasalahan turunan. Diantaranya adalah bagaimana jika
ditelisik dari pernyataan perempuan dilihat dari sisi aurat dan fitnah.
CRLO berpendapat fakta bahwa Tuhan telah
menciptakan fisik perempuan yang sepenuhnya berbeda dengan fisik laki-laki
dipandang sebagai kenyataan yang tak terbantahkan. Secara umum fisiknya
dirancang untuk melakukan pekerjaan rumah tangga dan untuk tugas-tugas khas
perempuan.Dengan kata lain, keterlibatan perempuan di dunia kerja laki-laki
bertolak belakang dengan sifat dan kerakter mereka sendiri. Hal tersebut
merupakan seebuah kejahatan terhadap kaum perempuan. Ia merusak jiwa dan rasa
keibuan generasi sesudahnya yang menginginkan pengayoman, kebaikan, dan kasih
sayang yang memadai.[10]
Dalam buku Atas Nama Tuhan; Dari fikih
Otoriter ke Fikih Otoritatif (2004), Khaled M. Abou El Fadl mengatakan bahwa
fitnah adalah persoalan tambahan. Fitnah mengandung sebuah gagasan bahwa hal atau
perilaku tertentu menghasilkan sejenis dorongan seksual yang berpotensi
menimbulkan dosa. Perilaku tertentu, seperti khalwat (berkumpulnya seorang
laki-laki dan perempuan dalam tempat tertutup atau sunyi) dipandang berbahaya
karena perilaku tersebut dapat melahirkan fitnah, yaitu terjadinya aktivitas
seksual yang dilarang—karena keduanya berada di tempat sepi, kemungkinan besar
mereka akan tergoda untuk melakukan aktivitas seksual tertentu.[11]
Alqur’an secara tegas menggunakan kata
fitnah, tapi tidak merujuk pada dorongan atau godaan seksual. Al-qur’an
menggunakan kata tersebut untuk merujuk pada godaan nonseksual seperti uang,
serta ujian dan persoalan berat. Adapun mengenai seksualitas, selain larangan
melakukan zina, al-qur’an memerintahkan orang-orang islam baik perempuan maupun laki-laki, untuk menundukkan pandangan
mereka, berpenampilan sederhana, dan tidak menampakkan perhiasan (zinah) mereka
kecuali di saat dan di tempat yang sepatutnya seperti di depan suami atau
isteri.[12]
Perhiasan perempuan dalam surah An-Nur ayat
31 terbagi menjadi dua, yaitu perhiasan tampak (az-zinah az-zahirah) dan
perhiasan yang tersembunyi (az-zinah al-makhfiyah). Perhiasan yang
tampak adalah bagian tubuh yang terbuka secara alami. Sementara perhiasan yang
tidak tampak adalah bagian tubuh yang yang disembunyikan Allah dalam bentuk dan
susunan tubuh perempuan.[13]
Hal yang patut digaris bawahi adalah dalam
riwayat-riwayat Islam pewajiban menggunakan hijab tidak terkait langsung dengan
kemungkinan terjadi fitnah. Melainkan cenderung kepada keamanan fisik dan
status sosial. Status sosial yang dimaksud adalah identitas perempuan sebagai
seorang muslimah.[14]
Lebih tajam Khaled manambahi, seandainya
kondisi yang mengandung potensi fitnah itu muncul karena adanya laki-laki yang
memiliki libido tinggi atau berperilaku tidak sopan, maka menuntut kaum
perempuan agar diasingkan atau dibatasi geraknya berarti pelanggaran terhadap
prinsip bahwa pihak yang tidak bersalah tidak harus mengganti rugi kelalaian
pihak lain. Hal ini tentu tidak adil bagi perempuan.[15]Ciri paling nyata dari
penetapan hukum yang menyingkirkan perempuan dari kehidupan public terlihat
dalam bentuk kebergantungannya yang sangat besar terhadap gagasan tentang
fitnah. Dalam penetapan-penetapan tersebut, perempuan selalu dipandang sebagai
seonggok fitnah yang berjalan dan bernafas. Kita sulit menemukan sebuah fatwa
yang membahas perempuan tanpa menyertakan beberapa bahasan tentang daya pikat
perempuan.
Jadi, misalnya menurut CRLO, perempuan
boleh shalat di masjid hanya jika mereka tidak menimbulkan fitnah; perempuan
boleh mendengarkan seorang laki-laki membaca al-Qur’an atau mengajar hanya jika
mereka tidak menimbulkan fitnah; perempuan boleh pergi ke pasar hanya jika
mereka tidak menimbulkan fitnah;
perempuan tidak boleh menziarahi makam karena dikhawatirkan menimbulkan
fitnah; perempuan tidak boleh mengucapkan tasbih (ketika seorang imam dalam
salat keliru) atau amin dengan keras karena dikhawatirkan menimbulkan fitnah;
perempuan yang sedang salat sendirian tidak boleh mengeraskan suaranya jika hal
tersebut dapat menimbulkan fitnah; perembuan tidak boleh menyapa laki-laki jika
hal tersebut dapat menimbulkan fitnah; dan semua jenis dan warna pakaian
dianalisis berdasarkan konsep fitnah.[16]
Tampaknya para ahli hukum yang membuat
penetapan bahwa fitnah selalu mengiringi perempuan dalam semua perbuatan mereka
dan kemanapun mereka pergi tidak menyadari bahwa hal tersebut bukanlah cirri
alamiah perempuan, tapi merupakan proyeksi seksual laki-laki. Dengan memandang
perempuan sebagai perwujudan daya tarik seksual, para ahli hukum tersebut tidak
mengusung norma kesopanan, tapi, sebenarnya, mengusung norma tak bermoral.
Bukannya memalingkan pandangan dari atribut fisik perempuan, secara obsesif
mereka malah memandang perempuan semata dari bentuk fisiknya. Pada prinsipnya,
para ahli hokum ini menjadikan perempuan sebagai objek konsumsi laki-laki dan
ini adalah bentuk pelanggaran moral yang sangat serius.
Ahmad Sarwat, Lc. memberi beberapa
persyaratan bagi perempuan yang ingin keluar rumah khususnya bekerja:[17]
a. mengenakan pakaian yang menutup aurat
b. tidak tabarruj atau memamerkan perhiasan
dan kecantikan
c. tidak melunakkan, memerdukan atau
mendesahkan suara
d. menjaga pandangan
e. aman dari fitnah
f. mendapatkan izin dari orang tua atau suaminya
Dari penuturan beberapa pendapat tersebut telah jelas, bahwa perempuan terbebas dari konsep fitnah apabila telah memenuhi syarat ketika
keluar rumah, salah
satunya menggunakan
hijab. Sesuai dengan dalil:
“Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak
perempuanmu dan isteri-isteri orang-oarang beriman, hendaklah mereka
mengulurkan jilbabnya keseluruh tubuh mereka."(QS Al-Ahzaab 27)
Sehingga tidak bisa disalahkan apabila perempuan bersyarat keluar rumah kemudian menjadi menggoyahkan iman laki-laki yang
tidak bermoral.
2. Hukum Perempuan Yang Bekerja Di Luar
Dari pembahasan pertama rupanya cukup
membekali bahwa tidak ada masalah bagi perempuan yang ingin bekerja di luar.
Kemudian ulama memberikan pendapat tambahan yang diantaranya akan kami utarakan
disini.
Secara
syariat, Islam tidak melarang perempuan untuk bekerja di seluruh bidang
pekerjaan. Dalam buku Prinsip Dan Dasar Hermeneutika Hokum Islam Kontemporer,
Dr. ir. Muhammad Syahrur berpendapat bahwa yang membatasi ruang gerak perempuan
dalam dunia kerja adalah kondisi obyektif dalam sejarah dan inilah yang sedang
dihadapi oleh masyarakat Arab Islam dalam sejarahnya selama ini. Para perempuan
arab telah berperan sebagai petugas kesehatan dalam peperangan, sebagian
terlihat dalam proses produksi makanan, seperti memeras susu kambing dan onta
atau pembuatan lemak dan susu. Sebagian lainnya bekerja untuk mendapatkan upah
dengan menyusui anak orang lain.[18]
Dalam konteks ini hendaknya kita memahami wilayah kerja perempuan
sebagai hasil interaksi dengan proses perkembangan sejarah, bukan melakukan
analogi hal-hal yang ada saat ini dengan yang terjadi pada masa lalu. Karena
syariat islam tidak melarang jenis-jenis pekerjaan lainnya, yang membatasi
ruang gerak perempuan adalah kondisi yang menyejarah. Hanya ada dua bidang
pekerjaan yang di larang Allah untuk dikerjakan perempuan, yakni pelacuran dan
bertelanjang.[19]
Sebagian pihak menyatakan bahwa ada dua penghalang bagi para wanita
yang bekerja.
Pertama dunia kerja meniscayakan bercampurnya antara laki-laki dan
perempuan. Dr. ir. Muhammad Syahrur berpendapat bahwa islam tidak melarang
perempuan untuk berinteraksi dan bergaul dengan laki-laki, yang diperingatkan
oleh islam adalah berkumpulnya antara laki-laki dan perempuan tanpa ada muhrim
dalam sebuah ruangan tertutup, atau yang disebut sebagai khulwah. Islam juga
melarang seorang perempuan bepergian dengan seorang yang bukan muhrimnya. Meski
demikian, beliau berpendapat bahwa larangan tersebut diletakkan dalam konteks
antisipasi dalam tindakan-tindakan negatif.
Penghalang kedua, terdapat sejumlah pekerjaan yang karena tingkat
kesulitannya yang tinggi menjadikan perempuan sulit melakukannya (misalnya
pekerjaan kasar di pengeboran minyak, penambangan batu bara, dan lain
sebagainya). Sebagian pekerjaan juga tidak cocok dengan sifat feminitas
perempuan. Kenyataan ini dapat dibenarkan, hanya saja pihak perempuan, melalui
perusahaan tempatnya bekerja, berhak menentukan sendiri sebatas apa dia
melakukan pekerjaannya dan bidang apa saja yang cocok dan tidak cocok
untuk dirinya.[20]
Dalam pekerjaan wanita, harusnya tidak ada ikhtilat
(campur) dengan pria dan tidak menimbulkan fitnah. Begitu pula dalam bisnisnya
harusnya dalam keadaan tidak mendatangkan fitnah, selalu berusaha memakai hijab
syar’i, tertutup, dan menjauh dari sumber-sumber fitnah.
Bolehnya bekerja, harus dengan syarat tidak
membahayakan agama dan kehormatan, baik untuk wanita maupun pria. Pekerjaan
wanita harus bebas dari hal-hal yang membahayakan agama dan kehormatannya,
serta tidak menyebabkan fitnah dan kerusakan moral pada pria. Begitu pula
pekerjaan pria harus tidak menyebabkan fitnah dan kerusakan bagi kaum wanita. Hendaklah
kaum pria dan wanita itu masing-masing bekerja dengan cara yang baik, tidak
saling membahayakan antara satu dengan yang lainnya, serta tidak membahayakan
masyarakatnya.
Mengacu Majmu’ Fatawa Syaikh Bin Baz, jilid
28, hal: 103-109, Ustadz Musyaffa Ad Darini,Lc member penjelasan, “Kecuali
dalam keadaan darurat, jika situasinya mendesak seorang pria boleh mengurusi
wanita, misalnya pria boleh mengobati wanita karena tidak adanya wanita yang
bisa mengobatinya, begitu pula sebaliknya. Tentunya dengan tetap berusaha
menjauhi sumber-sumber fitnah, seperti menyendiri, membuka aurat, dll yang bisa
menimbulkan fitnah. Ini merupakan pengecualian (hanya boleh dilakukan jika
keadaannya darurat).”[21]
Kemudian menurut pendapat Ustadz Musyaffa
Ad-Darini,[22] ada
hal-hal yang perlu diperhatikan, jika istri ingin bekerja, diantaranya:
a. Pekerjaannya tidak mengganggu kewajiban
utamanya dalam urusan dalam rumah, karena mengurus rumah adalah pekerjaan
wajibnya, sedang pekerjaan luarnya bukan kewajiban baginya, dan sesuatu yang
wajib tidak boleh dikalahkan oleh sesuatu yang tidak wajib.
b. Harus dengan izin suaminya, karena istri
wajib mentaati suaminya.
c. Menerapkan adab-adab islami, seperti:
Menjaga pandangan, memakai hijab syar’i, tidak memakai wewangian, tidak
melembutkan suaranya kepada pria yang bukan mahrom, dan lain-lain.
d. Pekerjaannya sesuai dengan tabi’at wanita,
seperti: mengajar, dokter, perawat, penulis artikel, buku, dan lain-lain.
e. Tidak ada ikhtilat di lingkungan kerjanya.
Hendaklah ia mencari lingkungan kerja yang khusus wanita, misalnya: Sekolah
wanita, perkumpulan wanita, kursus wanita, dan lain-lain
f. Hendaklah mencari dulu pekerjaan yang bisa
dikerjakan di dalam rumah. Jika tidak ada, baru cari pekerjaan luar rumah yang
khusus di kalangan wanita. Jika tidak ada, maka ia tidak boleh cari pekerjaan
luar rumah yang campur antara pria dan wanita, kecuali jika keadaannya darurat
atau keadaan sangat mendesak sekali, misalnya suami tidak mampu mencukupi
kehidupan keluarganya, atau suaminya sakit, dan lain-lain.
Dari penjelasan diatas pemakalah memahami
ada beberapa persyaratan yang harus dipenuhi seorang perempuan yang ingin
bekerja di luar. Hal-hal tersebut menjadi persyaratan mutlak namun tidak
terlepas dari konteks fleksibilitas pekerjaan yang dimaksud.
D. Kesimpulan
Dari
pembahasan di atas, dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Hak bekerja bagi perempuan, boleh dengan
persyaratan.
2. Hak bekerja di luar bagi perempuan, boleh
dengan persyaratan.
DAFTAR PUSTAKA
Al-jauziyah,
Al Imam Ibn Qayyim. 2000. Firasat. Jakarta: Pustaka Azzam.
El Fadl,
Khaled M. Abou.2004.Atas Nama
Tuhan; Dari fikih Otoriter ke Fikih Otoritatif.
Jakarta: PT
Serambi Ilmu Semesta.
Syahrur,Muhammad. 2004. Metodologi Fiqih Islam
Kontemporer.Yogyakarta: elSAQ Press.
Syahrur, Muhammad. 2012.
Prinsip Dan Dasar Hermeneutika Hukum
Islam Kontemporer. Yogyakarta: Penerbit
eLSAQ.
http://www.rumahfiqih.com/m/x.php?id=1212018323&=haramkah-wanita-berkarir-dan-bekerja-di-luar-rumah.htm di akses pada tanggal 30 April 2014.
http://www.konsultasisyariah.com/bolehkah-wanita-bekerja/ diakses tanggal 30 April 2014.
[1]http://www.rumahfiqih.com/m/x.php?id=1212018323&=haramkah-wanita-berkarir-dan-bekerja-di-luar-rumah.htm di akses pada tanggal 30 April 2014
[2]Ibid.
[3]Ibid.
[4]Al Imam Ibn Qayyim Al-jauziyah, Firasat, Pustaka Azzam, Jakarta,
2000, hlm. 323
[7]Ibid.
[8]Ibid.
[9] Khaled M. Abou
El Fadl, Atas Nama Tuhan; Dari fikih Otoriter ke Fikih Otoritatif, 2004,
PT Serambi Ilmu Semesta, Jakarta, hlm. 412
[12]Ibid.
[13]Muhammad Shahrur, Metodologi Fiqih Islam Kontemporer, elSAQ
Press, Yogyakarta, 2004, Hlm. 516.
[14]Khaled. Op.cit.
[18] Dr. ir.
Muhammad Syahrur,Prinsip Dan Dasar Hermeneutika Hukum Islam Kontemporer. 2012. Penerbit eLSAQ. Yogyakarta
hlm 276-277
0 comments :
Post a Comment