Breaking News
Loading...
Saturday 24 May 2014

TRADISI PEREMPUAN BEKERJA DI LUAR oleh Shoma Noor Fadlillah

03:21


A.    Pendahuluan
Fiqih mengatakan bahwa perempuan berada di bawah tanggung jawab laki-laki. Seorang laki-laki yang telah berumah tangga wajib menafkahi isterinya, memenuhi semua kebutuhannya, menjaga prioritasnya dan melindunginya. Premis ini seakan-akan menyatakan perempuan tak bisa berdiri sendiri tanpa perlindungan seorang laki-laki. Padahal dalam kenyataannya, perempuan memiliki kompetensi yang bisa dikatakan hampir sama seperti laki-laki. Di luar aspek lahiriah perempuan yang secara harfiah terbentuk dari tulang bengkok yang sering diasumsikan sebagai individu lemah dan tak berdaya, perempuan mempunyai tekad bertahan hidup sekuat laki-laki. Pun terlepas dari kurangnya akal dan agama yang sering ditujukan kepada sosok perempuan, perempuan mampu belajar dan cepat menanggapi apa yang harus ia lakukan untuk menanggung dirinya.
Alasan itulah yang dijadikan pijakan para perempuan untuk bekerja di luar. Kebanyakan masyarakat telah memaklumi hal tersebut. Karena tak bisa dipungkiri, perempuan juga manusia yang merupakan makhluk sosial. Mereka dengan percaya diri melamar pekerjaan di luar rumah, menukar potensinya dengan rupiah.Optimisme meningkatkan ekonomi berujung perbaikan kualitas taraf hidup telah tertanam pada alasan mengapa mereka bekerja. Terlebih bagi mereka yang single parent.
Namun dalam pandangan fikih, hal ini menjadi sebuah permasalahan yang sangat seriusapalagi ketika bersinggungan dengan hukum tentang aurat dan fitnah.Berangkat dari latar belakang tersebut, pemakalah akan mencoba mengurai permasalahan ini ditinjau dari penyelesaian masa’il fiqhiyah.
B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana hak bekerja bagi perempuan?
2.      Bagaimana hukum perempuan yang bekerja di luar?

C.    Pembahasan
1.      Hak Bekerja Bagi Perempuan
Sebelum membahas lebih jauh mengenai hak bekerja bagi perempuan, pemakalah akan menguraikan hak perempuan untuk keluar rumah.
Pada konsultasi online[1], Ahmad Sarwat, Lc. berbicara mengenai hal ini dengan uraian sebagai berikut.“Sebenarnya Islam tidak pernah mensyariatkan untuk mengurung wanita di dalam rumah. Tidak seperti yang banyak dipahami orang.Lihatlah bagaimana Rasulullah SAW melarang orang yang melarang wanita mau datang ke masjid.”
Diriwayatkan dari Ibnu Umar dia berkata, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Janganlah kamu mencegah perempuan-perempuan untuk pergi ke Masjid, sedangkan rumah mereka itu lebih baik bagi mereka.” (HR Abu Dawud dan Ibnu Khuzaimah dan lafadz ini dari Abu Dawud).
Dari Abdullah Bin Umar dia berkata, Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda: “Apabila salah seorang perempuan di antara kamu minta izin (untuk berjama’ah di masjid) maka janganlah mencegahnya”. (HR Al-Bukhari dan Muslim, lafadz ini dari Al-Bukhari).
Diriwayatkan dari Abu Hurairah dia berkata, sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Janganlah kamu mencegah kaum wanita untuk pergi ke masjid, tetapi hendaklah mereka keluar tanpa wangi-wangian.” (HR Abu Dawud).
Beliau menambahkan, “Padahal di masjid sudah bisa dipastikan banyak orang laki-laki. Dan perjalanan dari rumah ke masjid serta begitu juga kembalinya, pasti akan bertemu dengan lawan jenis yang bukan mahram.Bahkan masjid Nabawi di masa Rasulullah SAW tidak ada hijabnya. Tidak seperti masjid kita di zaman sekarang ini yang ada tabir penghalangnya. Di masa kenabian, posisi jamaah laki-laki dan jamaah wanita hanya dipisahkan tempatnya saja.Shaf laki-laki di bagian depan dan shaf wanita di bagian belakang. Anak kecil yang laki di belakang shaf laki dan anak kecil perempuan berada di sfah terdepan dari shaf perempuan. Dan tidak ada kain, tembok, tanaman atau penghalang apapun di antara barisan laki dan perempuan.”[2]
Sehingga beliau mengambil kesimpulan, “Jadi kalau dikatakan bahwa wanita itu haram keluar rumah, harus lebih banyak dikurung di dalamnya, rasanya tidak sesuai dengan apa yang terjadi di masa Rasulullah SAW dan salafus-shalih. Boleh dibilang mengurung wanita di dalam rumah adalah sebuah perkara bid'ah yang sesat.”[3]
Pendapat lain mengatakan[4], seharusnya pemerintah merusak pakaian wanita dengan tinta atau semisalnya jika melihat mereka berdandan dan keluar dari rumahnya. Beberapa fuqaha memberi keringanan dan membenarkan tindakan tersebut. Itulah hukum materi terendah.Pemerintah berhak memenjarakan wanita jika ia sering keluar dari rumahnya, apalagi jika ia keluar dalam keadaan berhias. Bahkan menetapkan bahwa perbuatan semacam itu adalah dosa dan maksiat bagi kaum wanita. Hanya Allah lah tempat memohon, agar para penguasa berkenan dengan hal tersebut.
Amirul mu’minin ‘Umar bin Khattab Ra melarang wanita berjalan dijalanan yang biasa dilalui oleh kaum laki-laki dan berbaur dengan mereka di jalanan. Dan pemerintah harus mentauladani tindakan Umar itu.
Al Khalal dalam kitab Jami’nya berkata kepada Abu Abdullah “aku menilai laki-laki tidak baik jika bersama wanita yang bukan muhrimnya”. Mengabarkan, bahwa sesungguhnya jika seorang wanita berhias dan keluar dari rumah (tanpa izin dari suaminya dan tidak ada muhrim yang menyertainya), maka ia dianggap telah berzina”.
Beliau juga melarang kaum wanita jika mengenakan wewangian kemudian menghadiri shalat isya’ berjamaah di masjid, kemudian Nabi Muhammad SAW bersabda “Jika seorang wanita keluar rumah, maka Syaitan memuliakannya”.
Tidak diragukan lagi, bahwa memberi jalan bagi wanita untuk berbaur dengan laki-laki merupakan pangkal dari kerusakan dan keburukan. Hal itu merupakan sebab terbesar dari diberlakukannya hukuman yang banyak terjadi, sebagaimana juga menjadi sebab bagi hancurnya perkara yang umum dan yang khusus.  Berbaurnya laki-laki dan perempuan merupakan sebab terjadinya tidak kemesuman dan perzinaan. Ia merupakan sebab kematian yang merata dan bencana yang berantai.[5]
Dalam konsultasi syariah online kedua, Ustadz Musyaffa Ad-Darini,Lc memberikan pendapatnya sebagai berikut:[6]
Islam menjadikan lelaki sebagai kepala keluarga, di pundaknya lah tanggung jawab utama lahir batin keluarga. Islam juga sangat proporsional dalam membagi tugas rumah tangga, kepala keluarga diberikan tugas utama untuk menyelesaikan segala urusan di luar rumah, sedang sang ibu memiliki tugas utama yang mulia, yakni mengurusi segala urusan dalam rumah.Norma-norma ini terkandung dalam firman-Nya:
الرِّجَالُقَوَّامُونَعَلَىالنِّسَاءِبِمَافَضَّلَاللَّهُبَعْضَهُمْعَلَىٰبَعْضٍوَبِمَاأَنْفَقُوامِنْأَمْوَالِهِمْ
Para lelaki (suami) itu pemimpin bagi para wanita (istri), karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (yang lelaki) atas sebagian yang lain (wanita), dan karena mereka (yang lelaki) telah memberikan nafkah dari harta mereka” (QS. An-Nisa: 34).
Begitu pula firman-Nya:
وَقَرْنَفِيبُيُوتِكُنَّ
Hendaklah kalian (para istri) tetap di rumah kalian” (QS. Al-Ahzab:33).
Ahli Tafsir ternama Imam Ibnu Katsir menafsirkan ayat ini dengan perkataannya: “Maksudnya, hendaklah kalian (para istri) menetapi rumah kalian, dan janganlah keluar kecuali ada kebutuhan. Termasuk diantara kebutuhan yang syar’i adalah keluar rumah untuk shalat di masjid dengan memenuhi syarat-syaratnya” (Tafsir Ibnu Katsir, 6/409).
Dalam memandang permasalahan perempuan bekerja, beliau menambahi dengan pendapat seperti berikut.[7]Memang bekerja adalah kewajiban seorang suami sebagai kepala rumah tangga, tapi Islam juga tidak melarang wanita untuk bekerja. Wanita boleh bekerja, jika memenuhi syarat-syaratnya dan tidak mengandung hal-hal yang dilarang oleh syari’at.
Syaikh Abdul Aziz Bin Baz mengatakan: “Islam tidak melarang wanita untuk bekerja dan bisnis, karena Allah jalla wa’ala mensyariatkan dan memerintahkan hambanya untuk bekerja dalam firman-Nya:
وَقُلِاعْمَلُوافَسَيَرَىاللَّهُعَمَلَكُمْوَرَسُولُهُوَالْمُؤْمِنُونَ
Katakanlah (wahai Muhammad), bekerjalah kalian! maka Alloh, Rasul-Nya, dan para mukminin akan melihat pekerjaanmu“  (QS. At-Taubah:105)
Perintah ini mencakup pria dan wanita. Allah juga mensyariatkan bisnis kepada semua hambanya, Karenanya seluruh manusia diperintah untuk berbisnis, berikhtiar dan bekerja, baik itu pria maupun wanita, Allah berfirman (yang artinya):
يَاأَيُّهَاالَّذِينَآمَنُوالَاتَأْكُلُواأَمْوَالَكُمْبَيْنَكُمْبِالْبَاطِلِإِلَّاأَنْتَكُونَتِجَارَةًعَنْتَرَاضٍمِنْكُمْ
Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian saling memakan harta sesama kalian dengan jalan yang tidak benar, akan tetapi hendaklah kalian berdagang atas dasar saling rela diantara kalian” (QS. An-Nisa:29),
Beliau menyimpulkan dalil tersebut[8] merupakan perintah yang berlaku umum, baik pria maupun wanita.
Sementara CRLO (Council of Scientific Research and Legal Opinions atau Al-Lajnah al-Daimah li al-Buhuts al-Ilmiyyah wa al-Ifta’ [Lembaga Ilmiah dan Fatwa  di Arab Saudi yang secara resmi boleh mengeluarkan fatwa] berpendapat mengenai perempuan yang bekerja sebagai berikut.
“Tidak ada masalah dengan perempuan yang bekerja bersama suaminya di ladang, pabrik, dan di rumah selama ia bekerja dengan ditemani mahramnya dan selama tidak ada laki-laki yang tidak mahromnya dan disekitarnya. Namun, ia dilarang bekerja dengan laki-laki yang bukan mahramnya, karena hal tersebut dapat menyebabkan keburukan dan fitnah yang sangat besar. Bekerja dengan laki-laki asing memungkinkan rekan kerja laki-laki tersebut berkumpul berdua dengannya dan memandang kecantikan dirinya. Syariah islam yang sempurna datang untuk menjaga kemaslahatan manusia dan memaksimalkannya, menghapus keburukan dan meminimalkanya, dan mencegah semua jalan yang mengarah kepada hal-hal yang dilarang tuhan. Tidak ada kebahagiaan, kehormatan, kemuliaan, kesuksesan di dunia dan di akhirat kelak kecuali dengan cara melaksanakan syariah dan dengan mengikuti hukum-hukumnya, menyeru orang lain untuk menjalankanya dengan penuh kesabaran, dan dengan menyadari atas pertentangan yang akan muncul akibat komitmen tersebut.”[9]
Penjelasan CRLO, seperti pendapat sebelumnya jelas membatasi ruang gerak perempuan sebagai partner laki-laki.Perempuan hanya dibolehkan bekerja dengan mahram.
Dari dua pendapat tersebut, diambil kesimpulan bahwa:
1)      Tidak ada yang melarang perempuan keluar rumah asalkan dengan syarat.
2)      Tidak ada yang melarang perempuan bekerja asalkan dengan syarat.
Sementara untuk poin kedua, kami memiliki beberapa permasalahan turunan. Diantaranya adalah bagaimana jika ditelisik dari pernyataan perempuan dilihat dari sisi aurat dan fitnah.
CRLO berpendapat fakta bahwa Tuhan telah menciptakan fisik perempuan yang sepenuhnya berbeda dengan fisik laki-laki dipandang sebagai kenyataan yang tak terbantahkan. Secara umum fisiknya dirancang untuk melakukan pekerjaan rumah tangga dan untuk tugas-tugas khas perempuan.Dengan kata lain, keterlibatan perempuan di dunia kerja laki-laki bertolak belakang dengan sifat dan kerakter mereka sendiri. Hal tersebut merupakan seebuah kejahatan terhadap kaum perempuan. Ia merusak jiwa dan rasa keibuan generasi sesudahnya yang menginginkan pengayoman, kebaikan, dan kasih sayang yang memadai.[10]
Dalam buku Atas Nama Tuhan; Dari fikih Otoriter ke Fikih Otoritatif (2004), Khaled M. Abou El Fadl mengatakan bahwa fitnah adalah persoalan tambahan. Fitnah mengandung sebuah gagasan bahwa hal atau perilaku tertentu menghasilkan sejenis dorongan seksual yang berpotensi menimbulkan dosa. Perilaku tertentu, seperti khalwat (berkumpulnya seorang laki-laki dan perempuan dalam tempat tertutup atau sunyi) dipandang berbahaya karena perilaku tersebut dapat melahirkan fitnah, yaitu terjadinya aktivitas seksual yang dilarang—karena keduanya berada di tempat sepi, kemungkinan besar mereka akan tergoda untuk melakukan aktivitas seksual tertentu.[11]
Alqur’an secara tegas menggunakan kata fitnah, tapi tidak merujuk pada dorongan atau godaan seksual. Al-qur’an menggunakan kata tersebut untuk merujuk pada godaan nonseksual seperti uang, serta ujian dan persoalan berat. Adapun mengenai seksualitas, selain larangan melakukan zina, al-qur’an memerintahkan orang-orang islam baik perempuan  maupun laki-laki, untuk menundukkan pandangan mereka, berpenampilan sederhana, dan tidak menampakkan perhiasan (zinah) mereka kecuali di saat dan di tempat yang sepatutnya seperti di depan suami atau isteri.[12]
Perhiasan perempuan dalam surah An-Nur ayat 31 terbagi menjadi dua, yaitu perhiasan tampak (az-zinah az-zahirah) dan perhiasan yang tersembunyi (az-zinah al-makhfiyah). Perhiasan yang tampak adalah bagian tubuh yang terbuka secara alami. Sementara perhiasan yang tidak tampak adalah bagian tubuh yang yang disembunyikan Allah dalam bentuk dan susunan tubuh perempuan.[13]
Hal yang patut digaris bawahi adalah dalam riwayat-riwayat Islam pewajiban menggunakan hijab tidak terkait langsung dengan kemungkinan terjadi fitnah. Melainkan cenderung kepada keamanan fisik dan status sosial. Status sosial yang dimaksud adalah identitas perempuan sebagai seorang muslimah.[14]
Lebih tajam Khaled manambahi, seandainya kondisi yang mengandung potensi fitnah itu muncul karena adanya laki-laki yang memiliki libido tinggi atau berperilaku tidak sopan, maka menuntut kaum perempuan agar diasingkan atau dibatasi geraknya berarti pelanggaran terhadap prinsip bahwa pihak yang tidak bersalah tidak harus mengganti rugi kelalaian pihak lain. Hal ini tentu tidak adil bagi perempuan.[15]Ciri paling nyata dari penetapan hukum yang menyingkirkan perempuan dari kehidupan public terlihat dalam bentuk kebergantungannya yang sangat besar terhadap gagasan tentang fitnah. Dalam penetapan-penetapan tersebut, perempuan selalu dipandang sebagai seonggok fitnah yang berjalan dan bernafas. Kita sulit menemukan sebuah fatwa yang membahas perempuan tanpa menyertakan beberapa bahasan tentang daya pikat perempuan.
Jadi, misalnya menurut CRLO, perempuan boleh shalat di masjid hanya jika mereka tidak menimbulkan fitnah; perempuan boleh mendengarkan seorang laki-laki membaca al-Qur’an atau mengajar hanya jika mereka tidak menimbulkan fitnah; perempuan boleh pergi ke pasar hanya jika mereka tidak menimbulkan fitnah;  perempuan tidak boleh menziarahi makam karena dikhawatirkan menimbulkan fitnah; perempuan tidak boleh mengucapkan tasbih (ketika seorang imam dalam salat keliru) atau amin dengan keras karena dikhawatirkan menimbulkan fitnah; perempuan yang sedang salat sendirian tidak boleh mengeraskan suaranya jika hal tersebut dapat menimbulkan fitnah; perembuan tidak boleh menyapa laki-laki jika hal tersebut dapat menimbulkan fitnah; dan semua jenis dan warna pakaian dianalisis berdasarkan konsep fitnah.[16]
Tampaknya para ahli hukum yang membuat penetapan bahwa fitnah selalu mengiringi perempuan dalam semua perbuatan mereka dan kemanapun mereka pergi tidak menyadari bahwa hal tersebut bukanlah cirri alamiah perempuan, tapi merupakan proyeksi seksual laki-laki. Dengan memandang perempuan sebagai perwujudan daya tarik seksual, para ahli hukum tersebut tidak mengusung norma kesopanan, tapi, sebenarnya, mengusung norma tak bermoral. Bukannya memalingkan pandangan dari atribut fisik perempuan, secara obsesif mereka malah memandang perempuan semata dari bentuk fisiknya. Pada prinsipnya, para ahli hokum ini menjadikan perempuan sebagai objek konsumsi laki-laki dan ini adalah bentuk pelanggaran moral yang sangat serius.
Ahmad Sarwat, Lc. memberi beberapa persyaratan bagi perempuan yang ingin keluar rumah khususnya bekerja:[17]
a.       mengenakan pakaian yang menutup aurat
b.      tidak tabarruj atau memamerkan perhiasan dan kecantikan
c.       tidak melunakkan, memerdukan atau mendesahkan suara
d.      menjaga pandangan
e.       aman dari fitnah
f.       mendapatkan izin dari orang tua atau suaminya
Dari penuturan beberapa pendapat tersebut telah jelas, bahwa perempuan terbebas dari konsep fitnah apabila telah memenuhi syarat ketika keluar rumah, salah satunya menggunakan hijab. Sesuai dengan dalil:
Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang-oarang beriman, hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya keseluruh tubuh mereka."(QS Al-Ahzaab 27)
Sehingga tidak bisa disalahkan apabila perempuan bersyarat keluar rumah kemudian menjadi menggoyahkan iman laki-laki yang tidak bermoral.
2.      Hukum Perempuan Yang Bekerja Di Luar
Dari pembahasan pertama rupanya cukup membekali bahwa tidak ada masalah bagi perempuan yang ingin bekerja di luar. Kemudian ulama memberikan pendapat tambahan yang diantaranya akan kami utarakan disini.
Secara syariat, Islam tidak melarang perempuan untuk bekerja di seluruh bidang pekerjaan. Dalam buku Prinsip Dan Dasar Hermeneutika Hokum Islam Kontemporer, Dr. ir. Muhammad Syahrur berpendapat bahwa yang membatasi ruang gerak perempuan dalam dunia kerja adalah kondisi obyektif dalam sejarah dan inilah yang sedang dihadapi oleh masyarakat Arab Islam dalam sejarahnya selama ini. Para perempuan arab telah berperan sebagai petugas kesehatan dalam peperangan, sebagian terlihat dalam proses produksi makanan, seperti memeras susu kambing dan onta atau pembuatan lemak dan susu. Sebagian lainnya bekerja untuk mendapatkan upah dengan menyusui anak orang lain.[18]
Dalam konteks ini hendaknya kita memahami wilayah kerja perempuan sebagai hasil interaksi dengan proses perkembangan sejarah, bukan melakukan analogi hal-hal yang ada saat ini dengan yang terjadi pada masa lalu. Karena syariat islam tidak melarang jenis-jenis pekerjaan lainnya, yang membatasi ruang gerak perempuan adalah kondisi yang menyejarah. Hanya ada dua bidang pekerjaan yang di larang Allah untuk dikerjakan perempuan, yakni pelacuran dan bertelanjang.[19]
Sebagian pihak menyatakan bahwa ada dua penghalang bagi para wanita yang bekerja.
Pertama dunia kerja meniscayakan bercampurnya antara laki-laki dan perempuan. Dr. ir. Muhammad Syahrur berpendapat bahwa islam tidak melarang perempuan untuk berinteraksi dan bergaul dengan laki-laki, yang diperingatkan oleh islam adalah berkumpulnya antara laki-laki dan perempuan tanpa ada muhrim dalam sebuah ruangan tertutup, atau yang disebut sebagai khulwah. Islam juga melarang seorang perempuan bepergian dengan seorang yang bukan muhrimnya. Meski demikian, beliau berpendapat bahwa larangan tersebut diletakkan dalam konteks antisipasi dalam tindakan-tindakan negatif.
Penghalang kedua, terdapat sejumlah pekerjaan yang karena tingkat kesulitannya yang tinggi menjadikan perempuan sulit melakukannya (misalnya pekerjaan kasar di pengeboran minyak, penambangan batu bara, dan lain sebagainya). Sebagian pekerjaan juga tidak cocok dengan sifat feminitas perempuan. Kenyataan ini dapat dibenarkan, hanya saja pihak perempuan, melalui perusahaan tempatnya bekerja, berhak menentukan sendiri sebatas apa dia melakukan pekerjaannya dan bidang apa saja yang cocok dan tidak cocok untuk  dirinya.[20]
Dalam pekerjaan wanita, harusnya tidak ada ikhtilat (campur) dengan pria dan tidak menimbulkan fitnah. Begitu pula dalam bisnisnya harusnya dalam keadaan tidak mendatangkan fitnah, selalu berusaha memakai hijab syar’i, tertutup, dan menjauh dari sumber-sumber fitnah.
Bolehnya bekerja, harus dengan syarat tidak membahayakan agama dan kehormatan, baik untuk wanita maupun pria. Pekerjaan wanita harus bebas dari hal-hal yang membahayakan agama dan kehormatannya, serta tidak menyebabkan fitnah dan kerusakan moral pada pria. Begitu pula pekerjaan pria harus tidak menyebabkan fitnah dan kerusakan bagi kaum wanita. Hendaklah kaum pria dan wanita itu masing-masing bekerja dengan cara yang baik, tidak saling membahayakan antara satu dengan yang lainnya, serta tidak membahayakan masyarakatnya.
Mengacu Majmu’ Fatawa Syaikh Bin Baz, jilid 28, hal: 103-109, Ustadz Musyaffa Ad Darini,Lc member penjelasan, “Kecuali dalam keadaan darurat, jika situasinya mendesak seorang pria boleh mengurusi wanita, misalnya pria boleh mengobati wanita karena tidak adanya wanita yang bisa mengobatinya, begitu pula sebaliknya. Tentunya dengan tetap berusaha menjauhi sumber-sumber fitnah, seperti menyendiri, membuka aurat, dll yang bisa menimbulkan fitnah. Ini merupakan pengecualian (hanya boleh dilakukan jika keadaannya darurat).”[21]
Kemudian menurut pendapat Ustadz Musyaffa Ad-Darini,[22] ada hal-hal yang perlu diperhatikan, jika istri ingin bekerja, diantaranya:
a.       Pekerjaannya tidak mengganggu kewajiban utamanya dalam urusan dalam rumah, karena mengurus rumah adalah pekerjaan wajibnya, sedang pekerjaan luarnya bukan kewajiban baginya, dan sesuatu yang wajib tidak boleh dikalahkan oleh sesuatu yang tidak wajib.
b.      Harus dengan izin suaminya, karena istri wajib mentaati suaminya.
c.       Menerapkan adab-adab islami, seperti: Menjaga pandangan, memakai hijab syar’i, tidak memakai wewangian, tidak melembutkan suaranya kepada pria yang bukan mahrom, dan lain-lain.
d.      Pekerjaannya sesuai dengan tabi’at wanita, seperti: mengajar, dokter, perawat, penulis artikel, buku, dan lain-lain.
e.       Tidak ada ikhtilat di lingkungan kerjanya. Hendaklah ia mencari lingkungan kerja yang khusus wanita, misalnya: Sekolah wanita, perkumpulan wanita, kursus wanita, dan lain-lain
f.       Hendaklah mencari dulu pekerjaan yang bisa dikerjakan di dalam rumah. Jika tidak ada, baru cari pekerjaan luar rumah yang khusus di kalangan wanita. Jika tidak ada, maka ia tidak boleh cari pekerjaan luar rumah yang campur antara pria dan wanita, kecuali jika keadaannya darurat atau keadaan sangat mendesak sekali, misalnya suami tidak mampu mencukupi kehidupan keluarganya, atau suaminya sakit, dan lain-lain.
Dari penjelasan diatas pemakalah memahami ada beberapa persyaratan yang harus dipenuhi seorang perempuan yang ingin bekerja di luar. Hal-hal tersebut menjadi persyaratan mutlak namun tidak terlepas dari konteks fleksibilitas pekerjaan yang dimaksud.

D.    Kesimpulan
Dari pembahasan di atas, dapat disimpulkan sebagai berikut:
1.      Hak bekerja bagi perempuan, boleh dengan persyaratan.
2.      Hak bekerja di luar bagi perempuan, boleh dengan persyaratan.

DAFTAR PUSTAKA
Al-jauziyah, Al Imam Ibn Qayyim. 2000. Firasat. Jakarta: Pustaka Azzam.
El Fadl, Khaled M. Abou.2004.Atas Nama Tuhan; Dari fikih Otoriter ke Fikih Otoritatif. Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta.
Syahrur,Muhammad. 2004. Metodologi Fiqih Islam Kontemporer.Yogyakarta: elSAQ Press.
Syahrur, Muhammad. 2012. Prinsip Dan Dasar Hermeneutika Hukum Islam Kontemporer. Yogyakarta: Penerbit eLSAQ.


[2]Ibid.
[3]Ibid.
[4]Al Imam Ibn Qayyim Al-jauziyah, Firasat, Pustaka Azzam, Jakarta, 2000, hlm. 323
[5]Ibid., hlm. 324
[7]Ibid.
[8]Ibid.
[9] Khaled M. Abou El Fadl, Atas Nama Tuhan; Dari fikih Otoriter ke Fikih Otoritatif, 2004, PT Serambi Ilmu Semesta, Jakarta, hlm. 412
[10]Ibid., hlm. 412.
[11]Ibid., hlm. 414.
[12]Ibid.
[13]Muhammad Shahrur, Metodologi Fiqih Islam Kontemporer, elSAQ Press, Yogyakarta, 2004, Hlm. 516.
[14]Khaled. Op.cit.
[15]Ibid., hlm. 412
[16]Ibid. hlm. 417
[18] Dr. ir. Muhammad Syahrur,Prinsip Dan Dasar Hermeneutika Hukum Islam Kontemporer. 2012. Penerbit eLSAQ. Yogyakarta hlm 276-277
[19]Ibid., hlm. 278
[20]Ibid., hlm. 277

0 comments :

 
Toggle Footer